2012/06/26

Bahan Diskusi Bersama Parhalado Pusat


MENARIK BENANG MERAH SEJARAH BERDIRINYA
GEREJA MISSION BATAK
17 Juli 1927 – 17 Juli 2012
Analisa Sejarah Perkembangan Injil di Tanah Batak
Hingga Suara Kemandirian Gereja Batak

Disajikan dalam diskusi bersama Parhalado Gereja Mission Batak PRA-HUT GMB ke-85th
14 Juli 2012 di Kantor Pusat GMB Tuntungan

Bahan disajikan oleh : 1. Pdt. Jay Simarmata, STh
                                       2. Pdt. Ben’s Nainggolan, STh, S.PAK

1.      Awal mula masuknya Penginjilan di Tanah Batak
Nederlandsche Zending Genotschap (NZG) - Reinische Missions Gesellschaft (RMG) 1824 – 07 Oktober 1861

Suku Batak adalah salah satu suku terbesar yang berada dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Pembagian sub-batak menjadi salah satu factor sehingga suku tersebut menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia. Sub-Batak dikenal dalam 5 bagian, yaitu :
1.        Batak Toba (Berada di wilayah Silindung, Samosir, Humbang dan Toba)
2.       Batak Karo (Berada di wilayah Tanah Karo Simalem)
3.       Batak Simalungun (Berada di wilayah Simalungun)
4.      Batak Mandailing (Berada di wilayah Tapanuli Selatan)
5.       Batak Pakpak (Berada di wilayah Sidikalang dan Pakpak Barat)
Selain berada di masing-masing wilayah, suku batak juga telah tersebar keseluruh belahan dunia. Keadaan kepercayaan yang dianut oleh suku batak disebahagian wilayah sebelum masuknya injil, merupakan penganut fanatic terhadap kepercayaan animism, atau lebih dikenal sebagai penganut kepercayaan kesukuan (Parmalim; Red). Dan sebagian seperti di wilayah Tapanuli Selatan sudah dipengaruhi oleh Agam Islam, yang dibawa oleh para saudagar-saudagar Arab.


Awal mula sejarah masuknya kekristenan ke tanah Batak bermula dari misi utama usaha memajukan perdagangan yang dilakukan oleh Belanda (VOC) ± tahun 1600 - 1800. Para pedagang melihat begitu banyaknya bangsa Indonesia yang masih hidup menganut kepercayaan kesukuan. Dari penglihatan tersebut para pedagang menyampaikan hal tersebut kepada para zending gereja-gereja yang ada di Belanda. Maka atas dasar pemberitaan para pedagang Gereja Belanda melalui Badan Zending yang dikenal dengan nama “Nederlandsche Zending Genotschap” (NZG) mulai mengutus para Penginjil ke Indonesia yang dimulai dari Batavia (Jakarta) sampai ke daerah-daerah yang berada dalam wilayah kekuasaan jajahan Belanda.
Selain dari NZG, Gereja Baptis Amerika Serikat juga mengutus misionarisnya ke Indonesia, namun tidak begitu berhasil untuk menyebarkan Injil terutama di Tanah Batak. Selanjutnya pada tahun 1834 missionaries Munson dan Lyman diutus oleh Gereja Boston Amerika Serikatkembali mengutus mereka untuk menyebarkan Injil ke Tanah Batak. Namun Munson dan Lyman juga mengalami kegagalan setelah dibunuh di Sisangkak Lobupining pada tanggal 28 Juni 1834.

Setelah beberapa tahun Badan Zending Belanda NZG bekerja di Batavia, merekapun mulai melakukan penginjilan ke tanah Batak dengan mengutus seorang Misioanaris bernama Pdt. Van Asselt. Mereka memulainya dari arah selatan ( Sipirok ). Van asselt disusul oleh dua orang Misioanaris dari Badan Zending Jerman “Reinische Missionsgesellschaft (RMG)”, yaitu Pdt. Heiny dan Pdt. Klammer ke Sipirok. Sebelumnya kedua misionaris ini pertama kali diutus oleh Badan Zending RMG bekerja ke Borneo (Kalimantan), akan tetapi, mereka ditolak di sana kemudian kembali ke Batavia lalu diutus ke Tanah batak ( Sipirok ). Setelah kedua misionaris RMG ini sampai di sipirok, pada tanggal 07 Oktober 1861 tugas penginjilan selanjutnya di Tanah Batak diserahkan oleh NZG (Van Asselt ) kepada RMG ( Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer ). Tanggal serah terima inilah yang dicatat sebagai permulaan keKristenan ditanah Batak.

Satu tahun kemudian, RMG mengutus seorang misionaris , yaitu Pdt. I.L Nommensen, yang akhirnya digelari sebagai Rasul Orang Batak. Ia sampai di Barus pada tanggal 14 Mei 1862 dan terus ke Sipirok bergabung dengan misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer. Setelah berdiskusi dengan kedua Misioanaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nomensen akan bekerja di Silindung. Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan oleh Nomensen pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nomensen diterima oleh Ompu Pasang ( Ompu Tunggul ) kemudian tinggal dirumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas LumbanTobing. Dari sini Nomensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya. Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nomensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 07 Mei 1864. Nomensen kembali kerumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul ), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin ( hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nomensen lalu pergi kedesa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari LumbanTobing. Nomensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengijinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nomensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya.

Akan tetapi, pada mulanya Raja Pontas LumbanTobing tidak mau menerima Nomensen. Dia berusaha memengaruhi Raja-Raja di Silindung supaya menolak Nomensen. Sebaliknya, Raja Aman Dari LumbanTobing, juga berusaha memengaruhi Raja-Raja di Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di sekitar Silindung terbagi dua dalam hal penerimaan terhadap Nomensen. Walaupun masyarakat Silindung terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nomensen), Nomensen tetap berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil.

Oleh Kuasa Tuhan, satu Tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nomensen dapat melakukan pembabtisan pertama kepada satu orang Batak. Bahkan di Kemudian hari, Raja Pontas Lumban Tobing yang dulunya menolak Nommensen, meminta supaya dia dan keluarganya dibabtiskan. Pada saat itu juga Raja Pontas meminta supaya Nomensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya masuk Kristen, masyarakat Silindung makin banyak masuk Kristen.

Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di Silindung, Nomensen membuka Sekolah Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi guru Injil dan Guru Sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke Sipaholon. Kemudian, Nomensen membuka pos Penginjilan baru di Sigumpar. Dari sanalah beliau menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke seluruh Toba Holbung dan Samosir. Nomensen meninggal pada pada tanggal 22 Mei 1918 dan dikebumikan pada tanggal 24 Mei 1918 di Sigumpar, di samping makam istrinya tercinta yang telah mendahuluinya.


2.    Sejarah Gerakan Kemandirian Gereja “Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB)” pada tanggal 02 November 1909 di Tarutung dan “Hadomuan Kristen Batak” (HKB) pada tanggal 28 September 1917 di Balige.

Untuk meningkatkan taraf hidup, banyak orang Batak Kristen yang merantau ke Pesisir Timur Pulau Sumatera dan Jawa. Kebanyakan dari mereka yang pindah adalah Petani yang bersahaja, hanya sedikit dari antara mereka yang bekerja di perkebunan. Kita tidak mengetahui secara pasti kapan mulai terjadi. Sejak tahun 1907 para perantau ini sudah mendirikan gereja-gerejanya sendiri disekitar perkebunan Tapanuli, kota-kota pesisir Sumatera Timur hingga pada Tahun 1920 di Jakarta yang dikaitkan dengan tradisi gereja Batak di Tapanuli dan dengan RMG.

Gereja-Gereja di perantauan ini makin gencar menuntut kemandirian gerejanya dari RMG. Mereka makin mendorong usaha kemandirian yang telah dilakukan melalui pendirian “Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB)” pada tanggal 02 November 1909 di Tarutung dan “Hadomuan Kristen Batak” (HKB) pada tanggal 28 September 1917 di Balige.

Sejak 1907 sudah ada jemaat yang dirikan oleh RMG di Pematang Siantar (Jalan Gereja sekarang), dan jemaat ini menjadi pusat utama para misionaris RMG di Sumatera Timur. Akan tetapi, warga jemaatnya banyak yang tersebar di sekitar pinggiran kota Pematang Siantar yang jaraknya kurang lebih 4 km dari gereja ini dan F. Sutan Malu Panggabean adalah salah seorang dari antaranya.

Mempertimbangkan sulitnya menjangkau gereja di Pematang Siantar dengan Jalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean ( yang adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipaholon tahun 1909) mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider (missionaris RMG) di gereja Pematang Siantar.

Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG, serta penolakan mendirikan Jemaat Baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di Pematang Siantar, adalah menjadi salah satu alasan untuk mendirikan satu gereja baru di Pantoan yang kemudian disebut Hoeria Christen Batak ( H.Ch.B). Sebenarnya, sejak tahun 1927, F.P.Sutan Malu sudah mulai melakukan kebaktian Minggu dirumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi, baru pada tanggal 01 April 1927 membuat surat pemberitahuan resmi kepada pemerintahan. Alasan utama mendirikan Gereja ini - di samping alasan yang disebut di atas - dinyatakan oleh F. Sutan Malu Panggabean pada waktu beliau ditanyai oleh pejabat pemerintah Simalungun, adalah Yakobus 1 : 22 : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”. Dari alasan yang dikemukakan ini nampak dengan jelas bahwa pendirian Gereja HChB yang memperluas namanya menjadi HKI adalah untuk menyelenggarakan pekabaran Injil (marturia), persekutuan (koinonia), dan pelayanan kasih (diakonia).

a.       Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB) 02 November 1909 di Tarutung
Pekerjaan penginjilan di daerah Tapanuli oleh RMG diawali sejak 07 Oktober 1861. Pada tanggal 07 Oktober 1861 empat orang pendeta, yakni: Pdt. Heine, Pdt. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt melakukan rapat untuk memulai pekerjaan penginjilan di Tapanuli. Mereka membagi wilayah pekerjaannya, di mana Pdt. Klammer ke wilayah Sipirok, Pdt. Betz ke Bungabondar, Pdt. Heine dan Pdt. Van Asselt ke wilayah Pahae/Sarulla. Pada akhirnya tanggal tersebut ditetapkan menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan. Pekerjaan RMG di tanah Batak semakin dimantapkan dengan kehadiran Pdt. I.L. Nommensen. Sesuai dengan keputusan rapat para pendeta di Sipirok pada 07 Oktober 1862, Nommensen bekerja untuk daerah Parausorat, dengan alasan bahwa di wilayah tersebut, Islam telah mulai mengembangkan pengaruhnya. Namun pada tanggal 07 November 1863 Nommensen berangkat dari Parausorat menuju Silindung, di mana daerah tersebut pada akhirnya menjadi pusat pekerjaan RMG di Samosir. Keberhasilan misi yang dilakukan oleh Nommensen di daerah Silindung mulai terlihat ketika pada tanggal 27 Agustus 1865 sebanyak 4 orang dewasa dan 5 anak-anak dibaptis. Hal tersebut berlanjut hingga awal tahun 1866, di mana sebanyak 50 jiwa kembali dibaptis. Oleh karena semakin banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, pada tahun itu juga (16 Februari 1866) calon istri Nommensen dan Pdt. Johansen tiba di Sibolga untuk membantu pekerjaan yang dilakukan Nommensen di Silindung.

Perkembangan pekerjaan penginjilan di Tanah Batak semakin terlihat ketika Dr. A. Schreiber membuka Sekolah Guru di Parausorat pada tahun 1878 yang bertujuan untuk mendidik anak-anak orang Batak yang telah percaya kepada Kristus untuk menjadi guru yang akan membantu para pendeta RMG dalam pekerjaan pemberitaan.

Dalam masa yang cukup singkat, usaha yang dilakukan oleh pendeta-pendeta RMG di Tanah Batak dapat dikatakan cukup berhasil, sebab secara bertahap sejak tahun 1861 banyak daerah di Tapanuli bahkan ke daerah-daerah perantauan orang-orang Batak telah berdiri gereja-gereja Batak. Justin Sihombing menyebutkan dalam bukunya Sejarah ni Huria Kristen Batak Protestan, (Medan: Philemon & Liberty, 1961), perkembangan tersebut melalui penggambaran berdirinya ressort-ressort dari  gereja-gereja itu, di antaranya :
Sipirok 1861, Bungabondar 1861, Parausorat 1862, Pangaloan 1862, Sigompulon 1862, Pansurnapitu 1867, Sipoholon 1870, Sibolga 1870, Aekpasir 1870, Simorangkir 1875, Bahalbatu 1876, Balige 1876, Sipahutar 1882, Lintongnihuta 1882, Muara 1883, Laguboti 1884, Hutabarat 1888, Sipiongot 1888, Sigumpar 1890, Narumonda 1890, Parsambilan 1890, Parparean 1890, Nainggolan 1893, pangombusan 1894, Janjimatogu 1894, Pangaribuan 1896, Silaitlait 1896, Simanosor Batangtoru 1897, Palipi 1898, Lumbannabolon 1899, Tampahan 1900, Butar 1900, Sitorang 1901, Lumban Lobu 1902, Silamosik 1902, Nahornop 1902, Paranginan 1903, Pematangraja 1903, Dolok Sanggul 1904, Bandar 1904, Parmonangan 1905, Sipiak 1905, Parsoburan 1906, Pematangsiantar 1907, Sidikalang 1908, Bonandolok 1909, Tukka 1909, Purbasaribu 1910, Pangururan 1911, Medan 1912, Ambarita 1914, dan Jakarta 1922.

Setelah kurang lebih 48 tahun sejak Injil diberitakan di tanah Batak, antusias orang-orang Batak yang telah menjadi Kristen sangat besar untuk ikut serta menyebarkan Injil ke daerah yang belum mengenal kekristenan. Kerinduan bersama untuk menyebarkan Injil itulah yang mendorong terbentuknya Pardonganon Mission Batak. Atas dasar kerinduan itu, pada tanggal 02 November 1899 oleh prakarsa Pdt. Henock Lumbantobing berdiri Zending Batak yang disebut Pardonganon Mission Batak “PMB” yang mana atas inisyatif Pdt. Henock Lumbantobing dan Pdt. Metzler, Pearaja dijadikan sebagai pusat Zending tersebut. Kata “Mission Batak” yang digunakan sebagai nama badan zending tersebut mengandung arti yang dalam bagi setiap orang Kristen pribumi, yang merasakan tanggungjawab atau kewajiban mutlak untuk mengeluarkan sesuatu dari miliknya kepadanya usaha zending pribumi tanpa menaruh rasa curiga kepada usaha zending luar negeri (Kongsi Barmen di tanah Batak sejak tahun 1861). Setelah pendirian badan zending tersebut, terdapat berbagai sikap yang antusias dan mendukung dari berbagai pihak, di antaranya :
1.     Sambutan dari Badan Zending “Kongsi Barmen” yang dengan gembira menyambut berdirinya badan zending tersebut. Menanggapi hal tersebut, Kongsi Barmen menganjurkan agar pada tahun pertama dan tahun kedua, Kongsi PMB agar mengumpulkan modal dan pada tahun ketiga melancarkan gerakan zending atas biaya sendiri. J.T.H. Panjaitan dalam bukunya , Panggilan dan Suruhan Allah: Risalah dan Kesan-kesan Serta Pandangan-Pandangan Mengenai Pekabaran Injil Huria Kristen Batak Protestan Untuk Peringatan 75 Tahun Pekabaran Injil HKBP (1899-1974), (Pematangsiantar, Departemen Zending HKBP, 1974), menyebutkan dalam kesempatan itu, Kongsi Barmen juga setuju dengan program kerja yang dirumuskan Kongsi PMB, di antaranya :
-     Untuk turut melancarkan usaha Zending di Pulau Samosir, Uluan, Pakpak/Dairi dan Simalungun.
-     Membantu Kongsi Barmen untuk memberikan pelayanan yang cukup kepada jemaat-jemaat yang jauh terpencil dari tempat pendeta Eropa.
-     Membantu usaha sosial di antara masyarakat Kristen dan bukan Kristen, antara lain merawat orang-orang cacat.
2.    Sambutan dari Konfrensi para pendeta pribumi dan pendeta Eropa, yang mana membuat suatu ceramah yang berjudul: “Apakah Yang Pokok Kita Gumuli Dalam Membina Guru Zending dan Pendeta Batak”? Dengan melihat peran serta pendidikan teologi dalam mendukung kesuksesan badan zending tersebut, konfrensi mengeluarkan suatu keputusan agar memindahkan seminari Pansurnapitu ke tempat yang lebih luas dan strategis, yang mana pilihan akhirnya jatuh ke daerah Sipoholon.
3.    Sambutan para Raja dan Penatua Gereja di Silindung. Dalam satu pertemuan para raja dan penatua di Pearaja pada tanggal 10-11 Agustus 1900, gerakan zending PMB diperkenalkan kepada hadirin.
4.    Sambutan umat Kristen di Balige. Umat Kristen Balige yang dari dekat menyaksikan konfrensi para pendeta Eropa dan pendeta Pribumi bergerak lebih jauh dalam mensukseskan usaha zending HKBP “PMB”. Pada tanggal 10 Oktober 1900 seluruh anggota jemaat HKBP Balige berkumpul untuk menghadiri Rapat Zending yang pertama kali berlangsung di Balige. Rapat berhasil memilih anggota jemaat untuk dilantik menjadi Evangelist di daerah Zending, yakni St. Petrus dari Parparean, St. Musa dan St. Laban Siahaan dari Lumban atas.
5.    Sambutan umat Kristen di Angkola (Tapanuli Selatan). Daerah Angkola sebagai daerah jemaat HKBP pada bagian Selatan merasa kurang puas jika hanya mendengar kabar berdirinya zending HKBP. Jemaat mengundang pengurus zending HKBP agar datang berkunjung ke Angkola untuk memberi penjelasan selanjutnya tentang badan zending tersebut. Atas permintaan itu, Pdt. Henock Lumbantobing berkunjung ke daerah Angkola. Beliau mendapat sambutan yang baik, di mana jemaat turut mendoakan zending HKBP, menyumbangkan dana bahkan ada yang mendaftarkan diri menjadi anggota tetap dari badan zending tersebut.

Setelah Ephorus Pdt. I.L. Nommensen meninggal pada 23 Mei 1918, kepemimpinan gereja diserahkan kepada Pdt. Valentin Kessel sebagai pejabat ephorus hingga tahun 1920. Setelah Pdt. Johanes Warneck menjabat sebagai Ephorus terlihat suatu semangat untuk menghidupkan kembali semangat zending. Pdt. Johanes Warneck berusaha supaya kekuatan zending pribumi diarahkan bukan melayani suatu daerah zending (daerah bukan Kristen) sebagaimana keadaan semula, tetapi melayani gereja secara keseluruhan; yang berarti bertanggungjawab untuk menyediakan kebutuhan gereja dalam segala bidang.

Pada tanggal 16 Februari 1921, Pdt. Johanes Warneck berhasil membentuk suatu komisi (Pdt. Johanes Warneck, Pdt. Metzler, Pdt. Karl Lotz dan 5 dari Kristen Batak). Pada hari itu mereka meresmikan pergantian nama baru yaitu dengan nama Zending Batak, dengan makna/tujuan baru. Zending Batak adalah lembaga gerejani yang melibatkan diri dalam segala urusan gereja muda di Tanah Batak, antara lain: meningkatkan hidup gerejani, menutup kebutuhan belanja para pendeta pribumi, Guru Jemaat dan para Evangelist, yang bekerja di tengah-tengah masyarakat bukan Kristen di perantauan. Dengan bentuk baru ini maka nampak bahwa pimpinan dari Zending Batak langsung di tangan Ephorus.

Sesuai dengan fungsi baru dari Zending Batak yang harus melibatkan diri dalam segala bentuk kegiatan gerejani, maka Zending Batak pada tahun 1923 mendirikan perkampungan khusus kepada orang-orang buta yang diberi nama “Hepata”. Kegiatan di lapangan sosial ini memberi arti yang tidak ternilai serta pemahaman kepada warga jemaat bahwa orang buta dan lumpuh adalah manusia ciptaan Tuhan yang butuh akan perbuatan kasih Tuhan. Melihat peranan Zending Batak yang membawa banyak berkat bagi banyak orang, rapat pendeta utusan tahun 1925 memutuskan :
1.     Pada pesta perayaan turunnya Roh Kudus di setiap kebaktian diadakan kollekte buat Zending Batak.
2.    Pada pesta Natal I diadakan kollekte buat Hepata.

Sebuah karya misi yang terlaksana dalam tubuh gereja Batak yang terlihat dalam PMB adalah sebuah bentuk misi yang transformatif. Misi pemberitaan akan Injil melalui para missionaris mendapat respon dari orang-orang Batak, mereka percaya dan dibaptis. Terang yang diberikan Injil menjadikan orang-orang Batak Kristen memiliki rasa ingin ikut serta dalam usaha pekabaran Injil tersebut. Inilah yang terjadi dalam Lembaga Pardonganon Mission Batak (PMB). Berkaitan dengan hal itu beberapa hal yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah :
1.     Kita harus mengakui bahwa jiwa Zending terwujud dalam hidup jemaat HKBP adalah atas usaha dari “Kongsi Batak”.
2.    Kita tidak akan melupakan perintis-perintis Zending HKBP, antara lain: Pdt. Henock Lumbantobing, St. Laban Siahaan, St. Petrus Sitorus, St. Musa Tampubolon sebagai perintis Injil ke Samosir, Uluan, Tigaras dan Bakkara. Juga rekan mereka dari pendeta utusan, antara lain: Pdt. Metler, Pdt. Pilgram, Pdt. I.L. Nommensen.
3.    Kita merasa betapa sulit bagi mereka merintis Zending HKBP dalam membangun anggota jemaat yang masih ‘remaja’ itu untuk memberi secara Kristen, yang berarti memberi secara sukarela buat Kerajaan Allah di tengah-tengah saudara sesukunya yang masih menganut kepercayaan animisme.
4.    Kita akui karya mereka telah memupuk rasa tanggung jawab bagi usaha yang bukan hanya di dalam jemaat itu sendiri, tetapi juga di luar kepentingan mereka sendiri.
5.    Rencana panjang yaitu mendirikan suatu gereja yang berdiri sendiri (manjunjung baringinna) tidak lepas dari saat permulaan Zending HKBP “PMB”.

b.      Hadomuan Kristen Batak (HKB) 28 September 1917 di Balige
Hatopan Kristen Batak (HKB) diprakarsai oleh anggota-anggota paduan suara “Zangvereeniging Hadomuan” di Balige, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari para pegawai dan guru sekolah pemerintah dan sekolah zending atau pegawai-pegawai dai badan swasta. Paduan suara ini sering mereka gunakan sbagai tempat untuk saling tukar pendapat dan informasi. Alasan untuk mendirikan HKB ini dapat ditemukan dalam pandangan “Hasadaon”, yang artinya persatuan, yang dapat menghasilkan kekuatan ekonomis dan politis suatu bangsa atau perkumpulan.

HKB ini didirikan pada tanggal 21 September 1917 di Balige. Tujuan dari didirikannya organisasi HKB ini adalah
1.        Membendung terobosan Sarikat Islam ke Tanah Batak;
2.       Membendung terobosan kultur modern dengan cara memelihara warisan budaya leluhur dan memelihara identitas sebagai orang Batak Kristen yang sadar diri;
3.       Memajukan kehidupan sosial ekonomi, antara lain dengan mempertahankan dan mengolah tanah sendiri agar jangan diserobot “Kompeni” (maksudnya pegusaha ataupun pengusaha asing; dan
4.      Memperjuangkan nasib guru-guru pribumi dan meningkatkan jumlah guru wanita. Untuk tidak menimbulkkan kecurigaan RMG, maka kepengurusan HKB dibentuk sedemikian rupa, dan yang menjadi ketua adalah Guru Jemaat, Polin Siahaan, dan wakil ketuanya adalah pemimpin paduan suara, M. H. Manullang.

Pada mulanya HKB menjalin hubungan yang erat dengan RMG dan juga dengan potensi-potensi yang ada di Tanah Batak. Sikap dan program HKB yang menjaga kepentingan di bidang ekonomi dan kemajuan di segala bidang khususnya di bidang pendidikan dan kepemimpinan, merupakan faktor-faktor yang mampu mengikat dukungan jemaat dan rakyat. Ada dua semangat yang hidup di dalam HKB mengenai peran dan fungsi gereja dalam kehidupan bermasyarakat. Pada satu sisi sebagian pengurus HKB menghendaki bahwa gereja harus hadir bergumul dan turut di dalam proses kehidupan sosial politik dalam rangka memajukan masyarakat. Sementara pada sisi lain sebagian beranggapan bahwa gereja cukup membina kesatuan anggota tanpa perlu terlibat dalam persoalan-persoalan sosial politik di tengah-tengah masyarakat.

Hanya sedikit orang Kristen Batak yang sungguh-sungguh memandang HKB sebagai suatu perkumpulan politis dari orang-orang Kristen Batak. Di antara mereka itu terdapat M. H. Manullang, yang selaku pimpinan HKB, mendukung gerakan rakyat yang melawan sistem kontrak tanah, dan juga menyatakan keberpihakkannya terhadap orang-orang yang sengsara dan menderita serta keberaniannya mengatakan bahwa orang-orang Eropa adalah kapitalis-kapitalis ras putih.

Barisan dari HKB yang memahami lapangan politik adalah bagian dari tugas gereja, khususnya dalam perwujudan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, memang cenderung kritis terhadap segala hal. Kritik mereka tidak saja tertuju kepada pemerintah penjajah tetapi juga terhadap RMG, khususnya misionaris asing. Mereka sangat keras menuntut kemandirian gereja lepas dari dominasi Barat atau misionaris asing.

Pada akhirnya, garis politik di dalam HKB itu mendatangkan kerisauan dari RMG dan juga pemerintah Hindia Belanda, namun hal itu tidak membuat HKB, khususnya yang dari garis politik itu mundur dari sikapnya. Dalam menyuarakan tuntutan dan aspirasinya, HKB bahkan bekerjasama dengan gerakan anti kolonial Insulindo di Batavia, melangsungkan jalinan dengan Sarekat Islam, bahkan mendirikan Soeara Batak, sebuah surat kabar yang dilahirkan untuk mengimbangi Immanuel, sebuah media komunikasi HKBP.

Kalangan perantauan Batak ternyata lebih keras untuk melepaskan diri dari RMG. Pada tahun 1927, Hoeria Chisten Batak (HChB) berdiri sebagai gereja yang merdeka di Pematang Siantar. Hal yang sama berlangsung juga di Medan pada tahun 1928 dengan berdirinya Hoeria Christen Batak Medan Parjolo (HChB Medan I). Di Jakarta, hal yang sama terjadi juga dengan adanya Punguan Kristen Batak (PKB). Terlepas dari berbagai faktor yang menjadi latar belakang pendirian gereja-gereja yang mandiri itu, sangat mungkin hal itu juga terkait erat dengan semangat dan keberanian HKB menggemakan kemandirian di tanah Batak.

Berbagai kenyataan tersebut tetap belum mampu melepaskan kekuasaan misionaris asing dari HKBP. Satu usaha yang dilakukan untuk meredam keinginan tersebut adalah dengan merubah Tata Gereja pada tahun 1930, namun tetap saja hal ini belum mampu memuaskan HKB dan pendeta pribumi sebab kepemimpinan masih banyak di tangan misionaris asing, khususnya jabatan Ephorus masih tetap ditentukan RMG. Pada tahun yang sama itu pula HKBP secara resmi berdiri.

3.    Menarik Benang Merah Berdirinya Gereja Mission Batak (GMB)

Dari uraian sejarah di atas, penulis dalam hal ini akan berusaha menarik benang merah sejarah berdirinya Gereja Mission Batak sebagai salah satu gereja suku dimana sejarah berdirinya tidak terlepas dari usaha Pekabaran Injil Badan Zending yang masuk ke tanah Batak pada mulanya. Hal ini bertujuan untuk memperjelas sejarah berdirinya Gereja Mission Batak dimana selama berdirinya belum mampu memperjelas awal sejarah yang sesungguhnya berasal dari zending mana. Kiranya melalui diskusi bersama para Parhalado, Gereja Mission Batak dapat memperjelas sejarah perjuangan pendirian GMB yang sesungguhnya. Sebab kejelasan sejarah merupakan nilai penting untuk memajukan missi Kristus di dunia di tengah-tengah GMB sebagai Gereja yang missioner. Kiranya melalui HUT ke 85th, GMB semakin diberkati Tuhan untuk menyadari keterpurukannya dari tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.

4.    Rencana Uraian Kesimpulan
1.        Para peserta diharapkan mempelajari bahan dengan seksama, agar tidak keliru dalam hal memahami sejarah berdirinya GMB.
2.       Para peserta diharapkan memberi kontribusi (masukan) pemikiran sebagai usaha untuk menarik benang merah berdirinya GMB.
3.       Para peserta dapat memberi referensi untuk memperkaya kesimpulan diskusi.

Catatan : Sebahagian bahan diskusi merupakan kutipan-kutipan yang bersumber dari buku-buku, blog maupun website2.

Tidak ada komentar: