MENARIK
BENANG MERAH SEJARAH BERDIRINYA
GEREJA
MISSION BATAK
17 Juli 1927 – 17 Juli 2012
Analisa
Sejarah Perkembangan Injil di Tanah Batak
Hingga
Suara Kemandirian Gereja Batak
Disajikan dalam diskusi bersama Parhalado Gereja
Mission Batak PRA-HUT GMB ke-85th
14 Juli 2012 di Kantor Pusat GMB Tuntungan
Bahan
disajikan oleh : 1. Pdt. Jay Simarmata, STh
2.
Pdt. Ben’s Nainggolan, STh, S.PAK
1. Awal
mula masuknya Penginjilan di Tanah Batak
Nederlandsche Zending Genotschap (NZG) - Reinische
Missions Gesellschaft (RMG) 1824 – 07 Oktober 1861
Suku
Batak adalah salah satu suku terbesar yang berada dalam wilayah kesatuan
Republik Indonesia. Pembagian sub-batak menjadi salah satu factor sehingga suku
tersebut menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia. Sub-Batak dikenal dalam
5 bagian, yaitu :
1.
Batak Toba (Berada di wilayah Silindung, Samosir, Humbang dan Toba)
2.
Batak Karo (Berada di wilayah Tanah Karo Simalem)
3.
Batak Simalungun (Berada di wilayah Simalungun)
4.
Batak Mandailing (Berada di wilayah Tapanuli Selatan)
5.
Batak Pakpak (Berada di wilayah Sidikalang dan Pakpak Barat)
Selain
berada di masing-masing wilayah, suku batak juga telah tersebar keseluruh belahan
dunia. Keadaan kepercayaan yang dianut oleh suku batak disebahagian wilayah sebelum
masuknya injil, merupakan penganut fanatic terhadap kepercayaan animism, atau
lebih dikenal sebagai penganut kepercayaan kesukuan (Parmalim; Red). Dan sebagian
seperti di wilayah Tapanuli Selatan sudah dipengaruhi oleh Agam Islam, yang
dibawa oleh para saudagar-saudagar Arab.
Awal
mula sejarah masuknya kekristenan ke tanah Batak bermula dari misi utama usaha memajukan
perdagangan yang dilakukan oleh Belanda (VOC) ± tahun 1600 - 1800. Para pedagang
melihat begitu banyaknya bangsa Indonesia yang masih hidup menganut kepercayaan
kesukuan. Dari penglihatan tersebut para pedagang menyampaikan hal tersebut
kepada para zending gereja-gereja yang ada di Belanda. Maka atas dasar
pemberitaan para pedagang Gereja Belanda melalui Badan Zending yang dikenal
dengan nama “Nederlandsche Zending
Genotschap” (NZG) mulai mengutus para Penginjil ke Indonesia yang dimulai
dari Batavia (Jakarta) sampai ke daerah-daerah yang berada dalam wilayah
kekuasaan jajahan Belanda.
Selain
dari NZG, Gereja Baptis Amerika Serikat juga mengutus misionarisnya ke Indonesia,
namun tidak begitu berhasil untuk menyebarkan Injil terutama di Tanah Batak. Selanjutnya
pada tahun 1834 missionaries Munson dan Lyman diutus oleh Gereja Boston Amerika
Serikatkembali mengutus mereka untuk menyebarkan Injil ke Tanah Batak. Namun Munson
dan Lyman juga mengalami kegagalan setelah dibunuh di Sisangkak Lobupining pada
tanggal 28 Juni 1834.
Setelah
beberapa tahun Badan Zending Belanda NZG bekerja di Batavia, merekapun mulai
melakukan penginjilan ke tanah Batak dengan mengutus seorang Misioanaris
bernama Pdt. Van Asselt. Mereka memulainya dari arah selatan ( Sipirok ). Van
asselt disusul oleh dua orang Misioanaris dari Badan Zending Jerman “Reinische
Missionsgesellschaft (RMG)”, yaitu Pdt. Heiny dan Pdt. Klammer ke Sipirok.
Sebelumnya kedua misionaris ini pertama kali diutus oleh Badan Zending RMG
bekerja ke Borneo (Kalimantan), akan tetapi, mereka ditolak di sana kemudian
kembali ke Batavia lalu diutus ke Tanah batak ( Sipirok ). Setelah kedua
misionaris RMG ini sampai di sipirok, pada tanggal 07 Oktober 1861 tugas
penginjilan selanjutnya di Tanah Batak diserahkan oleh NZG (Van Asselt ) kepada
RMG ( Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer ). Tanggal serah terima inilah yang dicatat
sebagai permulaan keKristenan ditanah Batak.
Satu
tahun kemudian, RMG mengutus seorang misionaris , yaitu Pdt.
I.L Nommensen, yang akhirnya digelari sebagai Rasul Orang Batak. Ia
sampai di Barus pada tanggal 14 Mei 1862 dan terus ke Sipirok bergabung dengan
misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer. Setelah berdiskusi dengan kedua
Misioanaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nomensen akan
bekerja di Silindung. Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan oleh Nomensen
pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nomensen diterima oleh Ompu
Pasang ( Ompu Tunggul ) kemudian tinggal dirumahnya yang daerahnya masuk dalam
kekuasaan Raja Pontas LumbanTobing. Dari sini Nomensen kemudian kembali ke
Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam
pelayanannya. Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nomensen dengan membawa
semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada
tanggal 07 Mei 1864. Nomensen kembali kerumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul ),
tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah
sebatang pohon beringin ( hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat.
Nomensen lalu pergi kedesa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari
LumbanTobing. Nomensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat
mengijinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi raja Aman
Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit
keras. Melalui seorang utusan, Nomensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja
Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen
kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing
untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya,
penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan
Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya.
Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan
Nomensen tinggal dirumahnya.
Akan
tetapi, pada mulanya Raja Pontas LumbanTobing tidak mau menerima Nomensen. Dia
berusaha memengaruhi Raja-Raja di Silindung supaya menolak Nomensen.
Sebaliknya, Raja Aman Dari LumbanTobing, juga berusaha memengaruhi Raja-Raja di
Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di sekitar Silindung terbagi
dua dalam hal penerimaan terhadap Nomensen. Walaupun masyarakat Silindung
terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nomensen), Nomensen tetap
berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil.
Oleh
Kuasa Tuhan, satu Tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nomensen dapat melakukan
pembabtisan pertama kepada satu orang Batak. Bahkan di Kemudian hari, Raja
Pontas Lumban Tobing yang dulunya menolak Nommensen, meminta supaya dia dan
keluarganya dibabtiskan. Pada saat itu juga Raja Pontas meminta supaya Nomensen
pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya masuk
Kristen, masyarakat Silindung makin banyak masuk Kristen.
Sejalan
dengan pertumbuhan Gereja di Silindung, Nomensen membuka Sekolah Guru di Pansur
Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi guru Injil dan Guru Sekolah. Di
kemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke Sipaholon. Kemudian, Nomensen membuka
pos Penginjilan baru di Sigumpar. Dari sanalah beliau menyebarkan Injil bersama
para pembantunya ke seluruh Toba Holbung dan Samosir. Nomensen meninggal pada
pada tanggal 22 Mei 1918
dan dikebumikan pada tanggal 24 Mei 1918
di Sigumpar,
di samping makam istrinya tercinta yang telah mendahuluinya.
2. Sejarah
Gerakan Kemandirian Gereja “Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB)” pada
tanggal 02 November 1909 di Tarutung dan “Hadomuan Kristen Batak” (HKB) pada
tanggal 28 September 1917 di Balige.
Untuk
meningkatkan taraf hidup, banyak orang Batak Kristen yang merantau ke Pesisir
Timur Pulau Sumatera dan Jawa. Kebanyakan dari mereka yang pindah adalah Petani
yang bersahaja, hanya sedikit dari antara mereka yang bekerja di perkebunan.
Kita tidak mengetahui secara pasti kapan mulai terjadi. Sejak tahun 1907 para
perantau ini sudah mendirikan gereja-gerejanya sendiri disekitar perkebunan
Tapanuli, kota-kota pesisir Sumatera Timur hingga pada Tahun 1920 di Jakarta
yang dikaitkan dengan tradisi gereja Batak di Tapanuli dan dengan RMG.
Gereja-Gereja
di perantauan ini makin gencar menuntut kemandirian gerejanya dari RMG. Mereka
makin mendorong usaha kemandirian yang telah dilakukan melalui pendirian
“Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB)” pada tanggal 02 November 1909 di
Tarutung dan “Hadomuan Kristen Batak” (HKB) pada tanggal 28 September 1917 di
Balige.
Sejak
1907 sudah ada jemaat yang dirikan oleh RMG di Pematang Siantar (Jalan Gereja
sekarang), dan jemaat ini menjadi pusat utama para misionaris RMG di Sumatera
Timur. Akan tetapi, warga jemaatnya banyak yang tersebar di sekitar pinggiran
kota Pematang Siantar yang jaraknya kurang lebih 4 km dari gereja ini dan F.
Sutan Malu Panggabean adalah salah seorang dari antaranya.
Mempertimbangkan
sulitnya menjangkau gereja di Pematang Siantar dengan Jalan kaki, maka F. Sutan
Malu Panggabean ( yang adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipaholon tahun
1909) mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak
oleh Pdt. R. Scheneider (missionaris RMG) di gereja Pematang Siantar.
Sejalan
dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada
tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG,
serta penolakan mendirikan Jemaat Baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di
Pematang Siantar, adalah menjadi salah satu alasan untuk mendirikan satu gereja
baru di Pantoan yang kemudian disebut Hoeria Christen Batak ( H.Ch.B).
Sebenarnya, sejak tahun 1927, F.P.Sutan Malu sudah mulai melakukan kebaktian
Minggu dirumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi, baru pada
tanggal 01 April 1927 membuat surat pemberitahuan resmi kepada pemerintahan.
Alasan utama mendirikan Gereja ini - di samping alasan yang disebut di atas -
dinyatakan oleh F. Sutan Malu Panggabean pada waktu beliau ditanyai oleh
pejabat pemerintah Simalungun, adalah Yakobus 1 : 22 : “Tetapi
hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja jika tidak
demikian kamu menipu diri sendiri”. Dari alasan yang dikemukakan ini nampak
dengan jelas bahwa pendirian Gereja HChB yang memperluas namanya menjadi HKI
adalah untuk menyelenggarakan pekabaran Injil (marturia), persekutuan
(koinonia), dan pelayanan kasih (diakonia).
a.
Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB) 02
November 1909 di Tarutung
Pekerjaan
penginjilan di daerah Tapanuli oleh RMG diawali sejak 07 Oktober 1861. Pada
tanggal 07 Oktober 1861 empat orang pendeta, yakni: Pdt. Heine, Pdt. Klammer,
Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt melakukan rapat untuk memulai pekerjaan
penginjilan di Tapanuli. Mereka membagi wilayah pekerjaannya, di mana Pdt.
Klammer ke wilayah Sipirok, Pdt. Betz ke Bungabondar, Pdt. Heine dan Pdt. Van
Asselt ke wilayah Pahae/Sarulla. Pada akhirnya tanggal tersebut ditetapkan
menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan. Pekerjaan RMG di tanah
Batak semakin dimantapkan dengan kehadiran Pdt. I.L. Nommensen. Sesuai dengan
keputusan rapat para pendeta di Sipirok pada 07 Oktober 1862, Nommensen bekerja
untuk daerah Parausorat, dengan alasan bahwa di wilayah tersebut, Islam telah
mulai mengembangkan pengaruhnya. Namun pada tanggal 07 November 1863 Nommensen
berangkat dari Parausorat menuju Silindung, di mana daerah tersebut pada
akhirnya menjadi pusat pekerjaan RMG di Samosir. Keberhasilan misi yang
dilakukan oleh Nommensen di daerah Silindung mulai terlihat ketika pada tanggal
27 Agustus 1865 sebanyak 4 orang dewasa dan 5 anak-anak dibaptis. Hal tersebut
berlanjut hingga awal tahun 1866, di mana sebanyak 50 jiwa kembali dibaptis.
Oleh karena semakin banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, pada tahun itu
juga (16 Februari 1866) calon istri Nommensen dan Pdt. Johansen tiba di Sibolga
untuk membantu pekerjaan yang dilakukan Nommensen di Silindung.
Perkembangan
pekerjaan penginjilan di Tanah Batak semakin terlihat ketika Dr. A. Schreiber
membuka Sekolah Guru di Parausorat pada tahun 1878 yang bertujuan untuk
mendidik anak-anak orang Batak yang telah percaya kepada Kristus untuk menjadi
guru yang akan membantu para pendeta RMG dalam pekerjaan pemberitaan.
Dalam
masa yang cukup singkat, usaha yang dilakukan oleh pendeta-pendeta RMG di Tanah
Batak dapat dikatakan cukup berhasil, sebab secara bertahap sejak tahun 1861
banyak daerah di Tapanuli bahkan ke daerah-daerah perantauan orang-orang Batak
telah berdiri gereja-gereja Batak. Justin Sihombing menyebutkan dalam bukunya Sejarah ni Huria Kristen Batak Protestan,
(Medan: Philemon & Liberty, 1961), perkembangan tersebut melalui
penggambaran berdirinya ressort-ressort dari gereja-gereja itu, di
antaranya :
Sipirok
1861, Bungabondar 1861, Parausorat 1862, Pangaloan 1862, Sigompulon 1862,
Pansurnapitu 1867, Sipoholon 1870, Sibolga 1870, Aekpasir 1870, Simorangkir
1875, Bahalbatu 1876, Balige 1876, Sipahutar 1882, Lintongnihuta 1882, Muara
1883, Laguboti 1884, Hutabarat 1888, Sipiongot 1888, Sigumpar 1890, Narumonda
1890, Parsambilan 1890, Parparean 1890, Nainggolan 1893, pangombusan 1894,
Janjimatogu 1894, Pangaribuan 1896, Silaitlait 1896, Simanosor Batangtoru 1897,
Palipi 1898, Lumbannabolon 1899, Tampahan 1900, Butar 1900, Sitorang 1901,
Lumban Lobu 1902, Silamosik 1902, Nahornop 1902, Paranginan 1903, Pematangraja
1903, Dolok Sanggul 1904, Bandar 1904, Parmonangan 1905, Sipiak 1905,
Parsoburan 1906, Pematangsiantar 1907, Sidikalang 1908, Bonandolok 1909, Tukka
1909, Purbasaribu 1910, Pangururan 1911, Medan 1912, Ambarita 1914, dan Jakarta
1922.
Setelah
kurang lebih 48 tahun sejak Injil diberitakan di tanah Batak, antusias
orang-orang Batak yang telah menjadi Kristen sangat besar untuk ikut serta
menyebarkan Injil ke daerah yang belum mengenal kekristenan. Kerinduan bersama
untuk menyebarkan Injil itulah yang mendorong terbentuknya Pardonganon Mission
Batak. Atas dasar kerinduan itu, pada tanggal 02 November 1899 oleh prakarsa
Pdt. Henock Lumbantobing berdiri Zending Batak yang disebut Pardonganon Mission
Batak “PMB” yang mana atas inisyatif Pdt. Henock Lumbantobing dan Pdt. Metzler,
Pearaja dijadikan sebagai pusat Zending tersebut. Kata “Mission Batak” yang
digunakan sebagai nama badan zending tersebut mengandung arti yang dalam bagi
setiap orang Kristen pribumi, yang merasakan tanggungjawab atau kewajiban
mutlak untuk mengeluarkan sesuatu dari miliknya kepadanya usaha zending pribumi
tanpa menaruh rasa curiga kepada usaha zending luar negeri (Kongsi Barmen di
tanah Batak sejak tahun 1861). Setelah pendirian badan zending tersebut,
terdapat berbagai sikap yang antusias dan mendukung dari berbagai pihak, di
antaranya :
1. Sambutan
dari Badan Zending “Kongsi Barmen” yang dengan gembira menyambut berdirinya
badan zending tersebut. Menanggapi hal tersebut, Kongsi Barmen menganjurkan
agar pada tahun pertama dan tahun kedua, Kongsi PMB agar mengumpulkan modal dan
pada tahun ketiga melancarkan gerakan zending atas biaya sendiri. J.T.H.
Panjaitan dalam bukunya , Panggilan
dan Suruhan Allah: Risalah dan Kesan-kesan Serta Pandangan-Pandangan Mengenai
Pekabaran Injil Huria Kristen Batak Protestan Untuk Peringatan 75 Tahun
Pekabaran Injil HKBP (1899-1974), (Pematangsiantar, Departemen
Zending HKBP, 1974), menyebutkan dalam kesempatan itu, Kongsi Barmen juga
setuju dengan program kerja yang dirumuskan Kongsi PMB, di antaranya :
- Untuk
turut melancarkan usaha Zending di Pulau Samosir, Uluan, Pakpak/Dairi dan
Simalungun.
- Membantu
Kongsi Barmen untuk memberikan pelayanan yang cukup kepada jemaat-jemaat yang
jauh terpencil dari tempat pendeta Eropa.
- Membantu
usaha sosial di antara masyarakat Kristen dan bukan Kristen, antara lain
merawat orang-orang cacat.
2. Sambutan
dari Konfrensi para pendeta pribumi dan pendeta Eropa, yang mana membuat suatu
ceramah yang berjudul: “Apakah Yang Pokok Kita Gumuli Dalam Membina Guru
Zending dan Pendeta Batak”? Dengan melihat peran serta pendidikan teologi dalam
mendukung kesuksesan badan zending tersebut, konfrensi mengeluarkan suatu
keputusan agar memindahkan seminari Pansurnapitu ke tempat yang lebih luas dan
strategis, yang mana pilihan akhirnya jatuh ke daerah Sipoholon.
3. Sambutan
para Raja dan Penatua Gereja di Silindung. Dalam satu pertemuan para raja dan
penatua di Pearaja pada tanggal 10-11 Agustus 1900, gerakan zending PMB
diperkenalkan kepada hadirin.
4. Sambutan
umat Kristen di Balige. Umat Kristen Balige yang dari dekat menyaksikan
konfrensi para pendeta Eropa dan pendeta Pribumi bergerak lebih jauh dalam
mensukseskan usaha zending HKBP “PMB”. Pada tanggal 10 Oktober 1900 seluruh
anggota jemaat HKBP Balige berkumpul untuk menghadiri Rapat Zending yang
pertama kali berlangsung di Balige. Rapat berhasil memilih anggota jemaat untuk
dilantik menjadi Evangelist di daerah Zending, yakni St. Petrus dari Parparean,
St. Musa dan St. Laban Siahaan dari Lumban atas.
5. Sambutan
umat Kristen di Angkola (Tapanuli Selatan). Daerah Angkola sebagai daerah
jemaat HKBP pada bagian Selatan merasa kurang puas jika hanya mendengar kabar
berdirinya zending HKBP. Jemaat mengundang pengurus zending HKBP agar datang
berkunjung ke Angkola untuk memberi penjelasan selanjutnya tentang badan
zending tersebut. Atas permintaan itu, Pdt. Henock Lumbantobing berkunjung ke
daerah Angkola. Beliau mendapat sambutan yang baik, di mana jemaat turut
mendoakan zending HKBP, menyumbangkan dana bahkan ada yang mendaftarkan diri
menjadi anggota tetap dari badan zending tersebut.
Setelah
Ephorus Pdt. I.L. Nommensen meninggal pada 23 Mei 1918, kepemimpinan gereja
diserahkan kepada Pdt. Valentin Kessel sebagai pejabat ephorus hingga tahun
1920. Setelah Pdt. Johanes Warneck menjabat sebagai Ephorus terlihat suatu
semangat untuk menghidupkan kembali semangat zending. Pdt. Johanes Warneck
berusaha supaya kekuatan zending pribumi diarahkan bukan melayani suatu daerah
zending (daerah bukan Kristen) sebagaimana keadaan semula, tetapi melayani
gereja secara keseluruhan; yang berarti bertanggungjawab untuk menyediakan
kebutuhan gereja dalam segala bidang.
Pada
tanggal 16 Februari 1921, Pdt. Johanes Warneck berhasil membentuk suatu komisi
(Pdt. Johanes Warneck, Pdt. Metzler, Pdt. Karl Lotz dan 5 dari Kristen Batak).
Pada hari itu mereka meresmikan pergantian nama baru yaitu dengan nama Zending
Batak, dengan makna/tujuan baru. Zending Batak adalah lembaga gerejani yang
melibatkan diri dalam segala urusan gereja muda di Tanah Batak, antara lain:
meningkatkan hidup gerejani, menutup kebutuhan belanja para pendeta pribumi,
Guru Jemaat dan para Evangelist, yang bekerja di tengah-tengah masyarakat bukan
Kristen di perantauan. Dengan bentuk baru ini maka nampak bahwa pimpinan dari
Zending Batak langsung di tangan Ephorus.
Sesuai
dengan fungsi baru dari Zending Batak yang harus melibatkan diri dalam segala
bentuk kegiatan gerejani, maka Zending Batak pada tahun 1923 mendirikan
perkampungan khusus kepada orang-orang buta yang diberi nama “Hepata”. Kegiatan
di lapangan sosial ini memberi arti yang tidak ternilai serta pemahaman kepada
warga jemaat bahwa orang buta dan lumpuh adalah manusia ciptaan Tuhan yang
butuh akan perbuatan kasih Tuhan. Melihat peranan Zending Batak yang membawa
banyak berkat bagi banyak orang, rapat pendeta utusan tahun 1925 memutuskan :
1. Pada
pesta perayaan turunnya Roh Kudus di setiap kebaktian diadakan kollekte buat
Zending Batak.
2. Pada
pesta Natal I diadakan kollekte buat Hepata.
Sebuah
karya misi yang terlaksana dalam tubuh gereja Batak yang terlihat dalam PMB
adalah sebuah bentuk misi yang transformatif. Misi pemberitaan akan Injil
melalui para missionaris mendapat respon dari orang-orang Batak, mereka percaya
dan dibaptis. Terang yang diberikan Injil menjadikan orang-orang Batak Kristen
memiliki rasa ingin ikut serta dalam usaha pekabaran Injil tersebut. Inilah
yang terjadi dalam Lembaga Pardonganon Mission Batak (PMB). Berkaitan dengan
hal itu beberapa hal yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah :
1. Kita
harus mengakui bahwa jiwa Zending terwujud dalam hidup jemaat HKBP adalah atas
usaha dari “Kongsi Batak”.
2. Kita
tidak akan melupakan perintis-perintis Zending HKBP, antara lain: Pdt. Henock
Lumbantobing, St. Laban Siahaan, St. Petrus Sitorus, St. Musa Tampubolon
sebagai perintis Injil ke Samosir, Uluan, Tigaras dan Bakkara. Juga rekan
mereka dari pendeta utusan, antara lain: Pdt. Metler, Pdt. Pilgram, Pdt. I.L.
Nommensen.
3. Kita
merasa betapa sulit bagi mereka merintis Zending HKBP dalam membangun anggota
jemaat yang masih ‘remaja’ itu untuk memberi secara Kristen, yang berarti
memberi secara sukarela buat Kerajaan Allah di tengah-tengah saudara sesukunya
yang masih menganut kepercayaan animisme.
4. Kita
akui karya mereka telah memupuk rasa tanggung jawab bagi usaha yang bukan hanya
di dalam jemaat itu sendiri, tetapi juga di luar kepentingan mereka sendiri.
5. Rencana
panjang yaitu mendirikan suatu gereja yang berdiri sendiri (manjunjung
baringinna) tidak lepas dari saat permulaan Zending HKBP “PMB”.
b.
Hadomuan Kristen Batak (HKB) 28 September
1917 di Balige
Hatopan Kristen Batak (HKB)
diprakarsai oleh anggota-anggota paduan suara “Zangvereeniging Hadomuan” di Balige, yang anggotanya
sebagian besar terdiri dari para pegawai dan guru sekolah pemerintah dan
sekolah zending atau pegawai-pegawai dai badan swasta. Paduan suara ini sering
mereka gunakan sbagai tempat untuk saling tukar pendapat dan informasi. Alasan
untuk mendirikan HKB ini dapat ditemukan dalam pandangan “Hasadaon”, yang artinya persatuan,
yang dapat menghasilkan kekuatan ekonomis dan politis suatu bangsa atau
perkumpulan.
HKB
ini didirikan pada tanggal 21 September 1917 di Balige. Tujuan dari
didirikannya organisasi HKB ini adalah
1.
Membendung terobosan Sarikat Islam ke
Tanah Batak;
2.
Membendung terobosan kultur modern dengan
cara memelihara warisan budaya leluhur dan memelihara identitas sebagai orang
Batak Kristen yang sadar diri;
3.
Memajukan kehidupan sosial ekonomi,
antara lain dengan mempertahankan dan mengolah tanah sendiri agar jangan
diserobot “Kompeni” (maksudnya pegusaha ataupun pengusaha asing; dan
4.
Memperjuangkan nasib guru-guru pribumi
dan meningkatkan jumlah guru wanita. Untuk tidak menimbulkkan kecurigaan RMG,
maka kepengurusan HKB dibentuk sedemikian rupa, dan yang menjadi ketua adalah
Guru Jemaat, Polin Siahaan, dan wakil ketuanya adalah pemimpin paduan suara, M.
H. Manullang.
Pada
mulanya HKB menjalin hubungan yang erat dengan RMG dan juga dengan
potensi-potensi yang ada di Tanah Batak. Sikap dan program HKB yang menjaga
kepentingan di bidang ekonomi dan kemajuan di segala bidang khususnya di bidang
pendidikan dan kepemimpinan, merupakan faktor-faktor yang mampu mengikat
dukungan jemaat dan rakyat. Ada dua semangat yang hidup di dalam HKB mengenai
peran dan fungsi gereja dalam kehidupan bermasyarakat. Pada satu sisi sebagian
pengurus HKB menghendaki bahwa gereja harus hadir bergumul dan turut di dalam
proses kehidupan sosial politik dalam rangka memajukan masyarakat. Sementara
pada sisi lain sebagian beranggapan bahwa gereja cukup membina kesatuan anggota
tanpa perlu terlibat dalam persoalan-persoalan sosial politik di tengah-tengah
masyarakat.
Hanya
sedikit orang Kristen Batak yang sungguh-sungguh memandang HKB sebagai suatu
perkumpulan politis dari orang-orang Kristen Batak. Di antara mereka itu
terdapat M. H. Manullang, yang selaku pimpinan HKB, mendukung gerakan rakyat
yang melawan sistem kontrak tanah, dan juga menyatakan keberpihakkannya
terhadap orang-orang yang sengsara dan menderita serta keberaniannya mengatakan
bahwa orang-orang Eropa adalah kapitalis-kapitalis ras putih.
Barisan
dari HKB yang memahami lapangan politik adalah bagian dari tugas gereja,
khususnya dalam perwujudan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, memang
cenderung kritis terhadap segala hal. Kritik mereka tidak saja tertuju kepada
pemerintah penjajah tetapi juga terhadap RMG, khususnya misionaris asing.
Mereka sangat keras menuntut kemandirian gereja lepas dari dominasi Barat atau
misionaris asing.
Pada
akhirnya, garis politik di dalam HKB itu mendatangkan kerisauan dari RMG dan
juga pemerintah Hindia Belanda, namun hal itu tidak membuat HKB, khususnya yang
dari garis politik itu mundur dari sikapnya. Dalam menyuarakan tuntutan dan
aspirasinya, HKB bahkan bekerjasama dengan gerakan anti kolonial Insulindo di Batavia, melangsungkan
jalinan dengan Sarekat Islam, bahkan mendirikan Soeara Batak, sebuah surat kabar yang dilahirkan untuk
mengimbangi Immanuel, sebuah
media komunikasi HKBP.
Kalangan
perantauan Batak ternyata lebih keras untuk melepaskan diri dari RMG. Pada
tahun 1927, Hoeria Chisten Batak (HChB)
berdiri sebagai gereja yang merdeka di Pematang Siantar. Hal yang sama
berlangsung juga di Medan pada tahun 1928 dengan berdirinya Hoeria Christen Batak Medan Parjolo (HChB
Medan I). Di Jakarta, hal yang sama terjadi juga dengan adanya Punguan Kristen Batak (PKB).
Terlepas dari berbagai faktor yang menjadi latar belakang pendirian gereja-gereja
yang mandiri itu, sangat mungkin hal itu juga terkait erat dengan semangat dan
keberanian HKB menggemakan kemandirian di tanah Batak.
Berbagai
kenyataan tersebut tetap belum mampu melepaskan kekuasaan misionaris asing dari
HKBP. Satu usaha yang dilakukan untuk meredam keinginan tersebut adalah dengan
merubah Tata Gereja pada tahun 1930, namun tetap saja hal ini belum mampu
memuaskan HKB dan pendeta pribumi sebab kepemimpinan masih banyak di tangan
misionaris asing, khususnya jabatan Ephorus masih
tetap ditentukan RMG. Pada tahun yang sama itu pula HKBP secara resmi berdiri.
3. Menarik Benang
Merah Berdirinya Gereja Mission Batak (GMB)
Dari
uraian sejarah di atas, penulis dalam hal ini akan berusaha menarik benang
merah sejarah berdirinya Gereja Mission Batak sebagai salah satu gereja suku dimana
sejarah berdirinya tidak terlepas dari usaha Pekabaran Injil Badan Zending yang
masuk ke tanah Batak pada mulanya. Hal ini bertujuan untuk memperjelas sejarah
berdirinya Gereja Mission Batak dimana selama berdirinya belum mampu
memperjelas awal sejarah yang sesungguhnya berasal dari zending mana. Kiranya melalui
diskusi bersama para Parhalado, Gereja Mission Batak dapat memperjelas sejarah
perjuangan pendirian GMB yang sesungguhnya. Sebab kejelasan sejarah merupakan nilai
penting untuk memajukan missi Kristus di dunia di tengah-tengah GMB sebagai
Gereja yang missioner. Kiranya melalui HUT ke 85th, GMB semakin
diberkati Tuhan untuk menyadari keterpurukannya dari tangan-tangan yang tidak
bertanggungjawab.
4.
Rencana Uraian Kesimpulan
1.
Para peserta diharapkan mempelajari bahan
dengan seksama, agar tidak keliru dalam hal memahami sejarah berdirinya GMB.
2.
Para peserta diharapkan memberi
kontribusi (masukan) pemikiran sebagai usaha untuk menarik benang merah
berdirinya GMB.
3.
Para peserta dapat memberi referensi
untuk memperkaya kesimpulan diskusi.
Catatan : Sebahagian bahan diskusi
merupakan kutipan-kutipan yang bersumber dari buku-buku, blog maupun website2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar