2012/07/02

Sosiologi pertengkaran orang Batak Toba (Book Review)


Salam dalam nama Tuhan Yesus Kristus..para pembaca yang budiman, beberapa hari yang lalu ketika kami mencari informasi-informasi menyangkut lahirnya Gereja Mission Batak, dengan tidak sengaja kami menemukan sebuah website yang membahas tentang pertengkaran orang Batak Toba (Book Review) dituangkan dalam sebuah buku (disertasi) di UGM tahun 1995 oleh Bungaran Antonius Simanjuntak. Puji Tuhan sedikit dibahas tentang sejarah pertengkaran habatahon sebagai bentuk suara kemandirian gereja oleh cendikiawan batak memiliki hubungan sejarah mula-mula lahirnya Gereja Mission Batak. Selanjutnya ini menjadi referensi pendukung penelitian yang akan kami lanjutkan untuk menulis sejarah lahirnya Gereja Mission Batak.

“Orang yang mau menghargai sejarahnya, adalah orang yang memiliki dedikasi tinggi untuk mengembangkan negaranya (Gerejanya)”. DR. RE. Nainggolan, MM; 2012.

Sedikit kami akan uraikan kesimpulan tulisan Prof. DR. Bungaran A. Simanjuntak! Selamat membaca..

Sosiologi pertengkaran orang Batak Toba (Book Review)

Judul                : KONFLIK STATUS DAN KEKUASAAAN ORANG BATAK TOBA

Penulis             : Bungaran Antonius Simanjuntak.

Penerbit          : Yayasan Obor Indonesia edisi revisi (2009) ; pp : 404 hal


Urusan bertengkar agaknya sudah merupakan bagian hidup orang Batak. Konon, katanya, dalam dunia pra-kristen para zendeling dan kolonial, masyarakat purba suka berselisih antar kampung (huta), bersaing dan bahkan berperang. Lalu dikisahkan oleh para zendeling, mereka membawa agama baru, yang membawa damai. Apakah betul begitu? Kenyataan berbeda.. Justru dalam lembaga gereja yang dibawa agama Kristen itu belakangan sarat dengan kisah konflik, baik yang terbuka ataupun tertutup.

Ragam persoalan konflik orang Batak Toba itulah disoroti oleh Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS) dalam buku yang berasal dari disertasinya di UGM tahun 1995.

Tema konflik ternyata mengalami evolusi ditengah masyarakat Batak. Zaman sebelum Kristen yang dipersoalkan adalah soal adat dan lambang-lambangnya (misal: jambar), derajat silsilah dan kepemimpinan (raja huta), warisan, batas tanah marga. Sejak masuk agama Kristen menonjol konflik bidang adat berkaitan dengan status anak tertua dari suatu leluhur. Persoalan ini belakanagn sering muncul ketika marak pembangunan tugu marga. Siapa anak tertua turunan genealogis tertentu sering dipertengkarkan. Juga derajat turunan, misalnya si A mengaku No 15 dari marga A. Ada juga konflik-konflik individual berkaitan dengan warisan.

Anehnya sejak akhir abad 19 hingga masa Orde Baru cukup menonjol justru konflik bidang keagamaan (Kristen Protestan). Masalah ini mencuat ketika sekelompok cendekiawan Kristen Batak yang sudah mengenal nasionalisme merasa tidak puas dengan gereja Batak yang dikomandani badan zending yang datang dari Eropa (Jerman). HCB menolak badan zending Jerman (RMG) tersebut dan ingin otonomi, Juga ada nuansa politik pergerakan yang menolak pemerintahan kolonial Belanda. Gerakan ini dipelopori M.H.Manullang yang mendirikan Hatopan Kristen Batak (HKB) tahun 1917. Tidak berhenti disitu konflik muncul lagi dan tahun 1927 berdiri gereja Batak baru bernama Hatopan Christen Batak (HCB, sekarang HKI). Disusul ditahun yang sama Gereja Mission Batak dan Punguan Kristen Batak.

Babak kedua adalah perpecahan dalam tubuh HKBP yang melahirkan gereja baru GKPI tahun 1964. Konflik ini bermula dari ketidakpuasan karena terjadi pemecatan sekelompok pendeta yang dilatarbelakangi perebutan kursi pimpinan (ephorus) HKBP dalam sinode. Disamping itu tokoh awam, industrialis tekemuka TD Pardede dipandang terlalu jauh mencampuri dan memperkeruh suasana. Tahun 1987, Sekjen incumbent PM Sihombing berlaga dengan Soritua Nababan dalam perebutan jabatan Ephorus yang kemudian ternyata dimenangkan Nababan.   Tradisi Sekjen menjadi Ephorus yang mau dilanjutkan Sihombing ternyata gagal, lalu sengketa meledak. Nababan dituduh melakukan sogok/suap hingga menang. Disamping Nababan dikatakan memasukkan ajaran sesat. Nababan melakukan pembersihan kepada pendukung Sihombing di Universitas HKBP Nommensen, yang kemudian melahirkan gelombang unjuk rasa.

Kedua belah pihak mengundang pihak luar/pemerintah, lembaga asing atau tokoh-tokoh Batak yang merasa dekat dengan kekuasaan. Bahkan para jawara dan preman dilibatkan pula.

Di gereja sempalan HKBP tadi GKPI kemudian tahun 1988 terjadi lagi sengketa serius antara pimpinan (bishop) Marbun dengan pendeta resor Simpang Limun Medan Ds.Siregar. Keduanya saling tuding korupsi dan penggelapan uang gereja.

Menjadi menarik karena menurut BAS semua konflik ternyata berkaitan dengan pengejaran status dan kekuasaan. Status dan kekuasaan dapat diraih dengan kekayaan (hamoraon) yang menjadi cita-cita orang Batak disamping banyak turunan (hagabeaon) dan kehormatan (hasangapon). Hagabeon juga berhubungan dengan kekayaan karena banyaknya turunan juga melambangkan status dan kekayaan.

Menurut BAS yang meraih predikat cum laude untuk disertasi ini, faktor penting dalam kehidupan orang Batak Toba yang berhubungan langsung dengan konflik ialah
1.    Marga
2.   Struktur sosial dalihan na tolu (Dnt)
3.   Hubungan sosial hormat (somba) kepada hula-hula; elek marboru, manat mardongan tubu
4.   Adat.

Disamping ke 4 hal diatas, BAS juga menegaskan pandangan tradisionalisme dan modernisme cukup berpengaruh dalam lahirnya konflik diantara orang Batak Toba. Lalu, sikap cemburu, sombong (elat-teal-late) adalah karakter yang cukup menonjol dalam penelitian BAS.

Pertanyaan bagi kita apakah tidak ada dalam sistem sosial atau struktur sosial atau apapun namanya itu suatu jalan untuk menyelesaikan konflik? Apakah dalam budaya Batak tidak ada sarana menyudahi konflik? Menurut Profesor Antropologi di UNM ini kehidupan orang Batak tidaklah melulu diatur dan dikendalikan proses konflik. Tadinya peran adat yang dijalankan para raja-raja cukup ampuh dalam mengatasinya tapi sekarang hal ini sudah diambil oper oleh kepala desa, camat, tetua gereja, polisi dan pengadilan. Struktur Dalihan Na Tolu dan sikap hubungan sosial sebagaimana dikatakan diatas juga sangat penting untuk penyelesaian konflik tapi juga sering perannya digeser pengadilan karena berkembangnya pemahaman baru.

Yang paling ampuh adalah peran suatu lembaga pra-Kristen, organisasi bius dalam ritual ‘Mangase Taon’ dapat yang mengharmonikan kosmos dan memperdamaikan setiap pihak yang bersengketa. Segala konflik disini harus dilupakan. Setelah masuknya Kristen, ritual Mangase Taon sudah hilang dan peran bius dalam masyarakat Batak hampir tak berbekas. Ritual Kristen Natal, Paskah, perjamuan kudus seharusnya dapat mengambil posisi tersebut tapi ternyata tidak seampuh bius.

Buku BAS ini akan mendapat tempat istimewa dikalangan pemerhati konflik Batak Toba. Pisau analisanya yang tajam dengan landasan teori yang kuat melahirkan kesimpulan ataupun gagasan yang berani yang sejauh ini sering ditutup-tutupi. Menurut saya BAS yang jadi pelopor sosiologi konflik Toba adalah salah satu pemikir Batak yang menonjol kajian akademisnya dewasa ini disamping Jansihar Aritonang di bidang teologi.

Buku ini ditutup dengan rekomendasi yang menggelitik dan akan banyak dikecam orang. Katanya, kalau dalam suatu gereja terjadi konflik maka sebaiknya salah satu kelompok bertikai mendirikan gereja baru, seperti tradisi ‘mamungka huta’.

Oleh :
Pdt. Jay Simarmata, STh
Pdt. Paruhuman Tampubolon, MTh
Pdt. Ben's Nainggolan, STh, S.PAK


Tidak ada komentar: