Salam dalam nama Tuhan Yesus
Kristus..para pembaca yang budiman, beberapa hari yang lalu ketika kami mencari
informasi-informasi menyangkut lahirnya Gereja Mission Batak, dengan tidak
sengaja kami menemukan sebuah website yang membahas tentang pertengkaran orang
Batak Toba (Book Review) dituangkan dalam sebuah buku (disertasi) di UGM tahun
1995 oleh Bungaran Antonius Simanjuntak. Puji Tuhan sedikit dibahas tentang
sejarah pertengkaran habatahon sebagai bentuk suara kemandirian gereja oleh
cendikiawan batak memiliki hubungan sejarah mula-mula lahirnya Gereja Mission Batak.
Selanjutnya ini menjadi referensi pendukung penelitian yang akan kami lanjutkan
untuk menulis sejarah lahirnya Gereja Mission Batak.
“Orang
yang mau menghargai sejarahnya, adalah orang yang memiliki dedikasi tinggi
untuk mengembangkan negaranya (Gerejanya)”. DR. RE. Nainggolan, MM; 2012.
Sedikit kami akan uraikan kesimpulan
tulisan Prof. DR. Bungaran A. Simanjuntak! Selamat membaca..
Sosiologi pertengkaran orang Batak Toba
(Book Review)
Judul : KONFLIK STATUS DAN KEKUASAAAN ORANG BATAK TOBA
Penulis : Bungaran Antonius Simanjuntak.
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia edisi revisi (2009) ; pp : 404 hal
Urusan bertengkar agaknya sudah
merupakan bagian hidup orang Batak. Konon, katanya, dalam dunia pra-kristen
para zendeling dan kolonial, masyarakat purba suka berselisih antar kampung
(huta), bersaing dan bahkan berperang. Lalu dikisahkan oleh para zendeling,
mereka membawa agama baru, yang membawa damai. Apakah betul begitu? Kenyataan
berbeda.. Justru dalam lembaga gereja yang dibawa agama Kristen itu belakangan
sarat dengan kisah konflik, baik yang terbuka ataupun tertutup.
Ragam persoalan konflik orang Batak
Toba itulah disoroti oleh Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS) dalam buku yang
berasal dari disertasinya di UGM tahun 1995.
Tema konflik ternyata mengalami
evolusi ditengah masyarakat Batak. Zaman sebelum Kristen yang dipersoalkan
adalah soal adat dan lambang-lambangnya (misal: jambar), derajat silsilah dan
kepemimpinan (raja huta), warisan, batas tanah marga. Sejak masuk agama Kristen
menonjol konflik bidang adat berkaitan dengan status anak tertua dari suatu
leluhur. Persoalan ini belakanagn sering muncul ketika marak pembangunan tugu
marga. Siapa anak tertua turunan genealogis tertentu sering dipertengkarkan.
Juga derajat turunan, misalnya si A mengaku No 15 dari marga A. Ada juga
konflik-konflik individual berkaitan dengan warisan.
Anehnya sejak akhir abad 19 hingga
masa Orde Baru cukup menonjol justru konflik bidang keagamaan (Kristen
Protestan). Masalah ini mencuat ketika sekelompok cendekiawan Kristen Batak
yang sudah mengenal nasionalisme merasa tidak puas dengan gereja Batak yang dikomandani
badan zending yang datang dari Eropa (Jerman). HCB menolak badan zending Jerman
(RMG) tersebut dan ingin otonomi, Juga ada nuansa politik pergerakan yang
menolak pemerintahan kolonial Belanda. Gerakan ini dipelopori M.H.Manullang
yang mendirikan Hatopan Kristen Batak (HKB) tahun 1917. Tidak berhenti disitu
konflik muncul lagi dan tahun 1927 berdiri gereja Batak baru bernama Hatopan
Christen Batak (HCB, sekarang HKI). Disusul ditahun yang sama Gereja Mission
Batak dan Punguan Kristen Batak.
Babak kedua adalah perpecahan dalam
tubuh HKBP yang melahirkan gereja baru GKPI tahun 1964. Konflik ini bermula
dari ketidakpuasan karena terjadi pemecatan sekelompok pendeta yang
dilatarbelakangi perebutan kursi pimpinan (ephorus) HKBP dalam sinode. Disamping
itu tokoh awam, industrialis tekemuka TD Pardede dipandang terlalu jauh mencampuri
dan memperkeruh suasana. Tahun 1987, Sekjen incumbent PM Sihombing berlaga
dengan Soritua Nababan dalam perebutan jabatan Ephorus yang kemudian ternyata
dimenangkan Nababan. Tradisi Sekjen menjadi Ephorus yang mau dilanjutkan
Sihombing ternyata gagal, lalu sengketa meledak. Nababan dituduh melakukan
sogok/suap hingga menang. Disamping Nababan dikatakan memasukkan ajaran sesat.
Nababan melakukan pembersihan kepada pendukung Sihombing di Universitas HKBP
Nommensen, yang kemudian melahirkan gelombang unjuk rasa.
Kedua belah pihak mengundang pihak
luar/pemerintah, lembaga asing atau tokoh-tokoh Batak yang merasa dekat dengan
kekuasaan. Bahkan para jawara dan preman dilibatkan pula.
Di gereja sempalan HKBP tadi GKPI
kemudian tahun 1988 terjadi lagi sengketa serius antara pimpinan (bishop)
Marbun dengan pendeta resor Simpang Limun Medan Ds.Siregar. Keduanya saling
tuding korupsi dan penggelapan uang gereja.
Menjadi menarik karena menurut BAS
semua konflik ternyata berkaitan dengan pengejaran status dan kekuasaan. Status
dan kekuasaan dapat diraih dengan kekayaan (hamoraon) yang menjadi cita-cita
orang Batak disamping banyak turunan (hagabeaon) dan kehormatan (hasangapon).
Hagabeon juga berhubungan dengan kekayaan karena banyaknya turunan juga
melambangkan status dan kekayaan.
Menurut BAS yang meraih predikat cum
laude untuk disertasi ini, faktor penting dalam kehidupan orang Batak Toba yang
berhubungan langsung dengan konflik ialah
1.
Marga
2.
Struktur sosial dalihan na tolu (Dnt)
3.
Hubungan sosial hormat (somba) kepada
hula-hula; elek marboru, manat mardongan tubu
4.
Adat.
Disamping ke 4 hal diatas, BAS juga
menegaskan pandangan tradisionalisme dan modernisme cukup berpengaruh dalam lahirnya
konflik diantara orang Batak Toba. Lalu, sikap cemburu, sombong
(elat-teal-late) adalah karakter yang cukup menonjol dalam penelitian BAS.
Pertanyaan bagi kita apakah tidak
ada dalam sistem sosial atau struktur sosial atau apapun namanya itu suatu jalan
untuk menyelesaikan konflik? Apakah dalam budaya Batak tidak ada sarana
menyudahi konflik? Menurut Profesor Antropologi di UNM ini kehidupan orang
Batak tidaklah melulu diatur dan dikendalikan proses konflik. Tadinya peran
adat yang dijalankan para raja-raja cukup ampuh dalam mengatasinya tapi
sekarang hal ini sudah diambil oper oleh kepala desa, camat, tetua gereja,
polisi dan pengadilan. Struktur Dalihan Na Tolu dan sikap hubungan sosial
sebagaimana dikatakan diatas juga sangat penting untuk penyelesaian konflik
tapi juga sering perannya digeser pengadilan karena berkembangnya pemahaman
baru.
Yang paling ampuh adalah peran suatu
lembaga pra-Kristen, organisasi bius dalam ritual ‘Mangase Taon’ dapat yang
mengharmonikan kosmos dan memperdamaikan setiap pihak yang bersengketa. Segala
konflik disini harus dilupakan. Setelah masuknya Kristen, ritual Mangase Taon
sudah hilang dan peran bius dalam masyarakat Batak hampir tak berbekas. Ritual
Kristen Natal, Paskah, perjamuan kudus seharusnya dapat mengambil posisi
tersebut tapi ternyata tidak seampuh bius.
Buku BAS ini akan mendapat tempat
istimewa dikalangan pemerhati konflik Batak Toba. Pisau analisanya yang tajam
dengan landasan teori yang kuat melahirkan kesimpulan ataupun gagasan yang
berani yang sejauh ini sering ditutup-tutupi. Menurut saya BAS yang jadi
pelopor sosiologi konflik Toba adalah salah satu pemikir Batak yang menonjol
kajian akademisnya dewasa ini disamping Jansihar Aritonang di bidang teologi.
Buku ini ditutup dengan rekomendasi
yang menggelitik dan akan banyak dikecam orang. Katanya, kalau dalam suatu
gereja terjadi konflik maka sebaiknya salah satu kelompok bertikai mendirikan
gereja baru, seperti tradisi ‘mamungka huta’.
Oleh :
Pdt. Jay Simarmata, STh
Pdt. Paruhuman Tampubolon, MTh
Pdt. Ben's Nainggolan, STh, S.PAK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar