1. PENDAHULUAN
Seorang pendeta menerima pendidikan teologi secara
formal di seminari. Pengalamannya selama menekuni teologi membentuk
kepribadiannya kelak sebagai seorang pendeta. Bahkan lingkungan hidup
seminari, karena biasanya hidup berasrama, sangat dominan mempengaruhi
perkembangan wawasan, intelektualitas dan kehidupan spiritualitasnya.
Kehidupan berasrama, dan kehidupan lingkungan kampus akhirnya merupakan
adonan pembentukan kepribadian seseorang yang kelak menjadi pendeta. Hal
ini tentunya tidak mengabaikan terjadinya perubahan kepada calon
pendeta, ketika ia sudah berada di tengah-tengah masyarakat. Perubahan
tersebut dapat terjadi, baik perubahan positif maupun negatif.
Pada hakekatnya kependetaan itu harus dilihat melalui spiritualitasnya. Spiritualitas disini dimaksudkan dengan arti yang seluas-luasnya. Dalam artian, spiritualitas merupakan hubungan pribadi seorang beriman dengan Allah dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Spiritualitas mencangkup seluruh kehendak orang beriman dan tampak sebagai “buah Roh” dalam ibadah, kegembiraan rohani, pengorbanan dan pelayanan terhadap sesama. Spiritualitas mempunyai akarnya pada keteladanan Yesus, yakni: ketaatan yang total kepada Allah dan kepedulian yang eksistensial kepada manusia. Dari kata-kataNya yang tercatat pertama kali di Bait Allah, “tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49), sampai kata-kataNya yang terakhir di kay salib, “Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan RohKu” (Luk. 23:46), menunjukkan bahwa perhatian Yesus hanyalah satu, yakni: mengerjakan kehendak BapaNya.
Oleh karena itu, spiritualitas menyangkut jawaban kita atas pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Seluruh pelayanan kita sebenarnya bermuara pada kasih kita kepada Kristus yang terlebih dahulu mengasihi kita. Dalam konteks ini spiritualitas erat kaitannya dengan disiplin sebagai murid Kristus (kata “disiplin” merujuk ke kata discipes: murid). Artinya, spiritualitas menentukan gerak hidup kita sebagai murid dan pelayan Kristus. Oleh karena itu untuk mempertahan kan spiritualitas, kita harus terlebih dahulu mengenal arti tohonan dai pendeta itu sendiri.
2. LAHIRNYA TOHONAN (PELAYAN TAHBISAN)
Orang-orang percaya, yang dipanggil dan bersekutu itu menerima kharisma-pemberian dari Yesus Kristus melalui kehadiran Roh Kudus. Dengan dasar itu, gereja disebut sebagai persekutuan kharismata. Pemahaman ini lahir segera setelah turunnya Roh Kudus (Kis. 2) dan berkembang secara teologis pada masa para rasul dan abad-abad awal gereja purba. Bereja sebagai Tubuh Kristus menerima banyak karunia Roh Kudus, sehingga kehidupan persekutuan ditu berlangsung didalam pelayanan kharisma yang diterima orang-orang percaya. Pemberian kharisma tersebut tidak dilihat dari jenis dan ragamnya, melainkan dari segi fungsinya untuk membangun kehidupan jemaat (1 Kor. 12:12; 14:1-25).
Pemahaman tentang pemberian kharisma ini bergeser di dalam pengalaman dankehidupan gereja seturut dengan pengembangan wilayah pelayanan, keragaman jenis pelayanan dan penataan kehidupan jemaat lokal tertentu. Dalam injil dan surat-surat para rasul sudah kita temukan adanya pelayanan-pelayanan tertentu seperti nabi, rasul, pemberita injil, gembala dan pengajar (1 Kor. 12:28; Ef. 4:11) yang menunjukkan adanya perkembangan kemudian didalam jemaat yang dilayani para rasul itu.
Perkembangan pemahaman penerima kharisma inidengan sendirinya menimbulkan pembeda-bedaan di kalangan anggota persekutuan orang percaya. Muncullah pembedaan pelayan yang sangat mencolok. Ada yang disebut pelayan kharismatis dan ada pelayan non kharismatis. Pelayan kharismatis adalah para nabi, rasul, evangelis. Mereka diyakini telah menerima kharisma secara langsung dari Tuhan. Mereka tidak dipilih dan ditahbiskan, tetapi mereka menerima kuasa Roh Kudus. Mereka melayani seluruh persekutuan yang ada; tidak dibatasi dalam satu jemaat lokal atau wilayah tertentu. Pelayan non-kharismatis adalah para episkopos, presbyteros, dan diaken. Mereka ditahbiskan sebagai pelayan tahbisan oleh pelayan-pelayan kharismatis, yaitu yang menerima kuasa dan tahbisan langsung dari Roh Kudus. Dalam tahbisan tersebut, kuasa Roh Kudus turun atas orang-orang yang ditahbis melalui penumpangan tangan oelh para pelayan tahbisan kharismatis (Kis. 6:1-7).
Tradisi
penumpangan tangan dan pengucapan akta ordinasi adalah suatu penahbisan
terhadap seseorang untuk menerima jabatan thbisan (tohonan) Pendeta
(Pastor). Tradisi seperti itu sudah berlangsung sejak zaman Musa (Bil.
27:21-23). Dalam hal ini, dua hal yang penting dalam ritus penahbisan
untuk menjadi seorang “partohonan” – ¬ordained minister. Pertama, dengan
penumpangan tangan, kedua dengan pengucapan “akta tahbisan”. Keduanya
dipahami sebagai bukti penyaluran kuasa Roh Kudus dari orang-orang yang
menahbiskan kepada orang yang menerima tahbisan.
Bebarapa abad kemudian, pembagian pemahaman itu lebih disederhanakan, yang mula-mula muncul di gereja Barat yang berbahasa Latin dan kemudian dianut gereja reformasi. Semua orang percaya dipahami telah menerima vocatio generalis, yaitu dipanggil untuk melayai sesuai dengan kharisma yang diterimanya. Mereka disebut non-ordained minister. Kemudian ada vocatio specialis, yaitu pelayan yang diangkat dari kalangan jemaat untuk jabatan pelayan yang diangkat dari kalangan jemaat untuk jabatan pelayanan tertentu dan mereka disebut ordained minister-partohonan.
Penyebutan istilah dan pemahaman, baik tentang pelayan non kharismatis dan kharismatis maupun vocatio generalis dan vocatio specialis masih terus diperdebatkan dan sering melahirkan potensi tarik-menarik di dalam kehidupan persekutuan gereja. Dalam kehidupan gereja kita sekarang ini, hal itu sudah semakin dirasakan, adanya potensi tarik-menarik antara parhalado dohot ruas, partohonan dohot na so partohonan dalam menentukan posisi, status, partisipasi dan peranan pelayanan dalam kehidupan gereja. Penataan fungsi partisipasi dan penempatan setiap potensi yang dimiliki warga jemaat dan pelayan (ordained minister dan non ordained minister) yang fungsional efektif dan efisien akan dengan sendirinya mengendorkan upaya tarik-menarik tersebut. Sebaliknya, apabila setiap potensi yang ada tidak diefektifkan dan difungsikan secara tepat dan proporsional akan dengan sendirinya menimbulkan ketegangan di dalam kehidupan jemaat.
3. TOHONAN PENDETA
Sesuai dengan kesaksian dalam Perjanjian Baru yang memberitakan banyaknya pelayan tahbisan, maka dalam kehidupan gereja modern juga ada beberapa pelayan tahbisan. Pelayan tahbisan yang pada umumnya dikenal gereja modern sekarang ini adalah tahbisan pendeta. Berdasarkan istilah yang dipakai, ada tekanan-tekanan tertentu yang terkandung di dalam thbisan tersebut. Gereja Belanda memakai istilah domine, artinya tuan, lord. Gereja Inggris memakai istilah reverend artinya yang dimuliakan. Gereja Roma Katolik dan sebagian gereja Protestan memakai istilah pastor artinya gembala. Sedangkan gereja di Indonesia memakai istilah Pendeta, dari Sansekerta: panditta, pandit, artinya guru, kepada siapa orang bertanya ilmu pegetahuan, menerima bimbingan dan belajar.
Pemakaian istilah tahbisan untuk pendeta, domine, reverend dan pastor sangat dipengaruhi bahasa tersebut. Istilah domine melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan tersebut adalah orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di tengah masyarakat. Istilah reverend melahirkan pandangan bahwa pemilik tahbisan itu bukan hanya status sosial yang lebih tinggi tetapi juga harkat dan martabat kemanusiaannya lebih memiliki sifat yang ilahi sehingga dia harus dimuliakan. Istilah pastor, melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan itu adalah seorang penggembala, pengayom, yang menyatu dengan kehidupan orang banyak. Istilah pendeta melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan itu adalah orang yang bijaksana, guru, pembimbing dan pengajar, baik dalam hal-hal kehidupan duniawi maupun sorgawi.
Dengan pemahaman figur pendeta seperti ini, maka seorang pendeta adalah seorang panutan, figur teladan, dalam kehidupan rohani dan jasmani, dalam kehidupan bergereja dan kehidupan masyarakat. Bahkan dalam pemahaman tentang figur pendeta seperti itu, cara hidup seorang pendeta sering menjadi model yang ditiru dan diminati warga jemaatnya. Misalnya, cara berpakaian, penampilan, berbicara dan lain-lain. Akibatnya, figur seorang pendeta adalah figur yang transparan di mata warga jemaatnya. Ia harus dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Ia harus dapat dicontoh dari hal-hal kecil sampai hal-hal yang besar. Ia dan keluarganya bagaikan tinggal di rumah kaca, yang dapat dilihat dari berbagai penjuru, dalam berbagai suasana, siang atau malam.
Oleh karena itu, apabila seorang pendeta benar-benar dapat menjalankan tugas dan pelayanannya, maka warga jemaat akan mendukung dan menjunjungnya setinggi-tingginya.pujian dan penghormatan akan diterima pendeta tersebut. Bahkan kadang-kadang dapat berlebihan, di mana pendeta tersebut hampir-hampir dikultuskan dalam hidupnya sehari-hari. Namun sebaliknya, apabila kehidupan pendeta dan keluarga tidak dapat menjadi teladan dalam kehidupan, maka ia akan dilecehkan, dihina dan tidak dihargai.
Pelaksanaan tugas pelayanan pendeta masa kini sudah jauh berbeda dengan tugas pelayanan nabi, rasul dan pelayan-pelayan lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab, khususnya dalam surat-surat Perjanjian Baru. Hal itu dapat dilihat lebih jelas dalam pelayanan rasul Paulus dan rasul-rasul lainnya. Dalam praktek kerasulannya, Paulus, Petrus dan rasul lain, tidak pernah menempatkan diri, sebagai atasan atau bawahan dalam tugas pelayanan. Namun masing-masing rasul melaksanakan tugas pelayanan secara mandiri. Dalam Kisah para Rasul memang ada pembagian tugas antara sesama rasul, namun pembagian tugas tersebut tidak merupakan wewenang atau kepatuhan sebagai seorang atasan atau seorang bawahan, melainkan hasil kesepakatan dan mufakat bersama demi kesuksesan pelayanan dan pekabaran Injil. Namun pada perkembangan gereja modern saat ini, pendeta sebagai pemegang jabatan struktural tidak dapat dielakkan. Jabatan struktural muncul di dalam tubuh gerejasesuai dengan perkembangan institusional gereja itu sendiri. Akan tetapi, yang menjadi keprihatinan akhir-akhir ini adalah ketika gereja terlalu sibuk untuk mengejar dan memenuhi tugas jabatan struktural gereja.
Struktural jabatan menutut profesionalisme. Jabatan profesional adalah jabatan yang diemban oleh seorang yang profesional untuk jabatan tersebut. Keprofesionalan seseorang atas tanggung jawab diukur dengan kemampuan, kelayakan, kepatuhan di dalam melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu, keprofesionalan seseorang diukur dan dinilai dari kemampuan orang yang menjabat jabatan tersebut. Pemahaman profesionalisme tidak sesuai bila diterapkan kepada pelayan tahbisan (partohonan),sekalipun kemampuan profesional tersebut tetap dibuthkan dalam memangku jabatan gerejawi. Menjadi seorang pemangku tahbisan (partohonan) tidak bertitik tolak dari kemampuan (SDM) pelayan tahbisan tetapi dari sudut pemberi tahbisan (tohonan) tersebut. Seseorang yang dipanggil, ditetapkan dan diutus menjadi pelayan tahbisan adalah seorang yang telah diangkat5 dan ditetapkan oleh Tuhan Yesus, Raja Gereja. Oleh karena Tuhan yang memanggil, menetapkan dan mengangkat, maka Tuhan sendirilah yang memberi kemampuan dan kelayakan, menjadi orang yang telah dimampukan dan dilayakkan dalam memangku jabatan tersebut.
Hal yang paling ironis dewasa ini, kependetaan dinilai sebagai lapangan pekerjaan. Dengan demikian, motivasi menjadi pendeta juga tidak terlepas dari keinginan memiliki lapangan kerja. Motivasi pemenuhan harapan pekerjaan akan melahirkan pendeta yang ambisius menempati jabatan tertentu, karena jabatan, kedudukan, kuasa kemimpinan serta materi baginya adalah goal, tujuan untuk menjadi pendeta.
Menurut AP-HKBP (Peraturan Aturan HKBP) 2002, arti daripelayan tahbisan “partohonan” adalah “ulaon panghobasion huria na diampehon tu sahalak parhobas marhitehite pamasumasuon hombar tu agenda HKBP” (AP 2002, hal. 59). Rumusan ini berlaku kepada pemahaman “tohonan” yang lain di HKBP seperti guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelis dan sintua. Di gereja-gereja Protestan secara umum dan khususnya HKBP cukup jelas perbedaan pelaksanaan penahbisan terhadap seorang pendeta dengan jabatan tahbisan lainnya. Penahbisan pendeta dilakukan dengan cara “penumpangan tangan” disertai dengan pembacaan “akta tahbisan”, yaitu ayat-ayat Alkitab atau rumusan teologis sesuai dengan “tohonan” tahbisan tersebut (akta tahbisan menurut agenda HKBP: Mat. 28:18-20; Yoh. 21:15-17; Kis. 20:17-35; 1 Tim. 3:1-7; 2 Tim. 1:5b), yang tidak dilakukan kepada tahbisan yang lain. Kekhususan jabatan tahbisan pendeta di HKBP sama dengan di gereja-gereja lain, adalah karena “tohonan hapanditaon i do na manghamham tohonan ni Kristus na tolu i, i ma Panurirang, Malim dohot Raja” (AP-HKBP 2002, bindu 25, 1-1, hal. 60). Kekhususan ini menjadi salah satu prasyarat bagi tohonan atau tahbisan pendeta untuk menyampaikan berkat dengan cara penumpangan tangan, sementara jabatan tahbisan yang lain di HKBP seperti guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelis dan sintua tidak diperkankan melakukan pemberkatan dengan cara penumpangan tangan (AP-HKBP 2002, bindu 25, 2.2.3b, 3.3c, 4.3b, 5.3b, 6.3c, hal. 60-66).
Menjadi pendeta berarti memiliki kharisma, pemberian, baik dalam bentuk wibawa (sahala), maupun dalam bentuk hikmat. Pemberian itu tidak diperoleh dari kemampuan yang dimiliki seorang penerima dan pengemban tahbisan, tetapi dari Tuhan sebagai oknum pemberi tahbisan. Berhubung oleh karena pemberi tahbisan, bukan manusia dan bukan pula pejabat gerejawi yang menempati posisi hierarchi tertinggi dalam struktur kepemimpinan gereja, maka kepatuhan seorang penerima tahbisan bukan kepada pejabat gerejawi, melainkan kepada Yesus Kristus, Raja Gereja itu.
Pendeta sebagai tohonan adalah penerima tugas panggilan Tuhan. Artinya, yang memberi “mandat” untuk memberitakan Firman Tuhan adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu, partohonan tidak berbicara atas dirinya sendiri melainkan atas nama Tuhan, yang memberikan kuasa Roh Kudus dalam melaksanakan tugas panggilannya. Keabsahan, validitas dan otoritas kependetaan seseorang sama dengan yang dimiliki oleh para nabi, rasul dan utusan Tuhan lainnya. Ia berhak, berkuasa, berwibawa memberitakan Firman Tuhan, bersaksi bahkan memberi teguran dan hukuman kepada warga jemaat (Yeh. 33:7-11; Mat. 16:19) hanya apabila Roh Kudus ada padanya.
Dengan demikian, pendeta bukan jabatan, bukan profesi, bukan lapangan pekerjaan, melainkan tugas panggilan Tuhan. Seseorang yang dipanggil Tuhan selalu ditempa, dibentuk lebih dahulu menjadi murid Yesus (Yes. 50:4-6). Pemuridan selalu merupakan lanjutan dari pemanggilan dan merupakan proses untuk pengutusan. Sekalipun pada akhirnya dituntut kemampuan (skills), wawasan dan pengetahuan dari seorang pendeta masa kini, namun yang menjadi dasar pendeta adalah tugas panggilan dari Tuhan. Seperti kata Yesus, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh. 15:16).
Inti pokok tohonan pendeta adalah kesetiaan dan kepatuhan kepada Dia yang memilih, memanggil dan mengutus seseorang menjadi pendeta, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, loyalitas kependetaan harus diletakkan kepada Kristus. Semua penerima tahbisan harus selalu mengaju dan tertuju kepada Kristus. Oleh karena itu, semua penerima tahbisan adalah sama-sama murid Kristus yang menerima tugas panggilan dan diutus langsung oleh Kristus.
4. AKTUALISASI TOHONAN PENDETA
Pendeta adalah “alat” dan “utusan” utuk memberitahukan Firman Allah kepada jemaat, masyarakat dan bangsa. Namun demikian, pendeta adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan keluarga dan sebagai bagian dari masyarakat setempat. Pendeta memiliki cara hidup, nilai-nilai kehidupan tersendiri yang tidak sama dengan masyarakat umum. Oleh karena itu, seorang pendeta harus dapat menempatkan dirinya secara pas dan tepat, sebagai bagian dari warga masyarakat sekaligus sebagai pelayan dan hamba Tuhan.
Dalam hal ini, apabila pendeta tersebut adalah seorang bapak atau ibu di dalam keluarga, maka semua anggota keluarga harus turut serta mendukung citra kependetaan tersebut. Keluarga pendeta harus menjadi suatu tim di dalam melaksanakan dan memelihara citra kependetaan. Pendeta masa lalu sering mengatakan kalau bapak adalah pendeta, maka isteri pertama adalah gereja (jemaat) dan istri kedua adalah ibu yang di dalam rumah tangga. Semboyan tersebut datang dari pemahaman bahwa pendeta hanya bertanggung jawab mengurus jemaat, sementara urusan keluarga tidak dilakukan lagi dan diserahkan total kepada istri pendeta tersebut. Semboyan tersebut tidak dapat lagi diterima pada masa kini. Citra pendeta dari seorang yang ditahbiskan turut serta ditentukan oleh keluarga dekatnya sendiri.
Jabatan tahbisan pendetaadalah berasal dari Tuhan Yesus Kristus, Raja Gereja. Kristuslah yang memanggil, menempatkan ,mengangkat dan mengutusnya menjadi seorang pendeta. Makna jabatan tahbisan (tohonan) pendeta lebih mengutamakan tugas fungsional, sebagaimana Kristus mengemban tugas kemesiasanNya secara fungsional, sebagai nabi, imam dan raja. Oleh karena itu, apabila ada seorang penerima jabatan tahbisan pendeta yang secara kebutalan atau karena diberi kesempatan memangku jabatan struktural, maka hendaknya tidak mengabaikan tugas fungsionalnya sebagai pendeta pemberita Firman Allah dan sebagai utusan Tuhan.
Jabatan tahbisan (tohonan) pendeta adalah kharisma, pemberian Tuhan, di mana Tuhan sendiri yang melayakkan dan memampukan seseorang untuk menjadi pendeta. Dengan demikian, jabatan tahbisan Pendeta bukan suatu pekerjaan profesional, bukan pula lapangan pekerjaan yang dicari dan diperoleh berdasarkan kemampuan (skills) manusia. Sebagai orang yang telah dilayakkan dan dimampukan Tuhan, maka seorang pendeta tahbisan memiliki kehususan, di mana ia akan menjadi panutan dan teladan dalam pola hidup, tingkah laku, perbuatan di tengah-tengah kehidupan. Kehidupan keluarga, kehidupan pribadinya, akan menjadi contoh yang baik yang dapat ditiru dan dapat dipraktekkan oleh orang lain. Dengan demikian, penerima tahbisan pendeta bukan saja sebagai utusan Tuhan, di dalam pemberitaan, kesaksian dan pelayanan; tetapi juga menjadi saluran berkat dalam kehidupan sehari-hari.
5. MAKNA DARI IBADAH MINGGU DI GEREJA MISSION BATAK
Bebarapa abad kemudian, pembagian pemahaman itu lebih disederhanakan, yang mula-mula muncul di gereja Barat yang berbahasa Latin dan kemudian dianut gereja reformasi. Semua orang percaya dipahami telah menerima vocatio generalis, yaitu dipanggil untuk melayai sesuai dengan kharisma yang diterimanya. Mereka disebut non-ordained minister. Kemudian ada vocatio specialis, yaitu pelayan yang diangkat dari kalangan jemaat untuk jabatan pelayan yang diangkat dari kalangan jemaat untuk jabatan pelayanan tertentu dan mereka disebut ordained minister-partohonan.
Penyebutan istilah dan pemahaman, baik tentang pelayan non kharismatis dan kharismatis maupun vocatio generalis dan vocatio specialis masih terus diperdebatkan dan sering melahirkan potensi tarik-menarik di dalam kehidupan persekutuan gereja. Dalam kehidupan gereja kita sekarang ini, hal itu sudah semakin dirasakan, adanya potensi tarik-menarik antara parhalado dohot ruas, partohonan dohot na so partohonan dalam menentukan posisi, status, partisipasi dan peranan pelayanan dalam kehidupan gereja. Penataan fungsi partisipasi dan penempatan setiap potensi yang dimiliki warga jemaat dan pelayan (ordained minister dan non ordained minister) yang fungsional efektif dan efisien akan dengan sendirinya mengendorkan upaya tarik-menarik tersebut. Sebaliknya, apabila setiap potensi yang ada tidak diefektifkan dan difungsikan secara tepat dan proporsional akan dengan sendirinya menimbulkan ketegangan di dalam kehidupan jemaat.
3. TOHONAN PENDETA
Sesuai dengan kesaksian dalam Perjanjian Baru yang memberitakan banyaknya pelayan tahbisan, maka dalam kehidupan gereja modern juga ada beberapa pelayan tahbisan. Pelayan tahbisan yang pada umumnya dikenal gereja modern sekarang ini adalah tahbisan pendeta. Berdasarkan istilah yang dipakai, ada tekanan-tekanan tertentu yang terkandung di dalam thbisan tersebut. Gereja Belanda memakai istilah domine, artinya tuan, lord. Gereja Inggris memakai istilah reverend artinya yang dimuliakan. Gereja Roma Katolik dan sebagian gereja Protestan memakai istilah pastor artinya gembala. Sedangkan gereja di Indonesia memakai istilah Pendeta, dari Sansekerta: panditta, pandit, artinya guru, kepada siapa orang bertanya ilmu pegetahuan, menerima bimbingan dan belajar.
Pemakaian istilah tahbisan untuk pendeta, domine, reverend dan pastor sangat dipengaruhi bahasa tersebut. Istilah domine melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan tersebut adalah orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi di tengah masyarakat. Istilah reverend melahirkan pandangan bahwa pemilik tahbisan itu bukan hanya status sosial yang lebih tinggi tetapi juga harkat dan martabat kemanusiaannya lebih memiliki sifat yang ilahi sehingga dia harus dimuliakan. Istilah pastor, melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan itu adalah seorang penggembala, pengayom, yang menyatu dengan kehidupan orang banyak. Istilah pendeta melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan itu adalah orang yang bijaksana, guru, pembimbing dan pengajar, baik dalam hal-hal kehidupan duniawi maupun sorgawi.
Dengan pemahaman figur pendeta seperti ini, maka seorang pendeta adalah seorang panutan, figur teladan, dalam kehidupan rohani dan jasmani, dalam kehidupan bergereja dan kehidupan masyarakat. Bahkan dalam pemahaman tentang figur pendeta seperti itu, cara hidup seorang pendeta sering menjadi model yang ditiru dan diminati warga jemaatnya. Misalnya, cara berpakaian, penampilan, berbicara dan lain-lain. Akibatnya, figur seorang pendeta adalah figur yang transparan di mata warga jemaatnya. Ia harus dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Ia harus dapat dicontoh dari hal-hal kecil sampai hal-hal yang besar. Ia dan keluarganya bagaikan tinggal di rumah kaca, yang dapat dilihat dari berbagai penjuru, dalam berbagai suasana, siang atau malam.
Oleh karena itu, apabila seorang pendeta benar-benar dapat menjalankan tugas dan pelayanannya, maka warga jemaat akan mendukung dan menjunjungnya setinggi-tingginya.pujian dan penghormatan akan diterima pendeta tersebut. Bahkan kadang-kadang dapat berlebihan, di mana pendeta tersebut hampir-hampir dikultuskan dalam hidupnya sehari-hari. Namun sebaliknya, apabila kehidupan pendeta dan keluarga tidak dapat menjadi teladan dalam kehidupan, maka ia akan dilecehkan, dihina dan tidak dihargai.
Pelaksanaan tugas pelayanan pendeta masa kini sudah jauh berbeda dengan tugas pelayanan nabi, rasul dan pelayan-pelayan lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab, khususnya dalam surat-surat Perjanjian Baru. Hal itu dapat dilihat lebih jelas dalam pelayanan rasul Paulus dan rasul-rasul lainnya. Dalam praktek kerasulannya, Paulus, Petrus dan rasul lain, tidak pernah menempatkan diri, sebagai atasan atau bawahan dalam tugas pelayanan. Namun masing-masing rasul melaksanakan tugas pelayanan secara mandiri. Dalam Kisah para Rasul memang ada pembagian tugas antara sesama rasul, namun pembagian tugas tersebut tidak merupakan wewenang atau kepatuhan sebagai seorang atasan atau seorang bawahan, melainkan hasil kesepakatan dan mufakat bersama demi kesuksesan pelayanan dan pekabaran Injil. Namun pada perkembangan gereja modern saat ini, pendeta sebagai pemegang jabatan struktural tidak dapat dielakkan. Jabatan struktural muncul di dalam tubuh gerejasesuai dengan perkembangan institusional gereja itu sendiri. Akan tetapi, yang menjadi keprihatinan akhir-akhir ini adalah ketika gereja terlalu sibuk untuk mengejar dan memenuhi tugas jabatan struktural gereja.
Struktural jabatan menutut profesionalisme. Jabatan profesional adalah jabatan yang diemban oleh seorang yang profesional untuk jabatan tersebut. Keprofesionalan seseorang atas tanggung jawab diukur dengan kemampuan, kelayakan, kepatuhan di dalam melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu, keprofesionalan seseorang diukur dan dinilai dari kemampuan orang yang menjabat jabatan tersebut. Pemahaman profesionalisme tidak sesuai bila diterapkan kepada pelayan tahbisan (partohonan),sekalipun kemampuan profesional tersebut tetap dibuthkan dalam memangku jabatan gerejawi. Menjadi seorang pemangku tahbisan (partohonan) tidak bertitik tolak dari kemampuan (SDM) pelayan tahbisan tetapi dari sudut pemberi tahbisan (tohonan) tersebut. Seseorang yang dipanggil, ditetapkan dan diutus menjadi pelayan tahbisan adalah seorang yang telah diangkat5 dan ditetapkan oleh Tuhan Yesus, Raja Gereja. Oleh karena Tuhan yang memanggil, menetapkan dan mengangkat, maka Tuhan sendirilah yang memberi kemampuan dan kelayakan, menjadi orang yang telah dimampukan dan dilayakkan dalam memangku jabatan tersebut.
Hal yang paling ironis dewasa ini, kependetaan dinilai sebagai lapangan pekerjaan. Dengan demikian, motivasi menjadi pendeta juga tidak terlepas dari keinginan memiliki lapangan kerja. Motivasi pemenuhan harapan pekerjaan akan melahirkan pendeta yang ambisius menempati jabatan tertentu, karena jabatan, kedudukan, kuasa kemimpinan serta materi baginya adalah goal, tujuan untuk menjadi pendeta.
Menurut AP-HKBP (Peraturan Aturan HKBP) 2002, arti daripelayan tahbisan “partohonan” adalah “ulaon panghobasion huria na diampehon tu sahalak parhobas marhitehite pamasumasuon hombar tu agenda HKBP” (AP 2002, hal. 59). Rumusan ini berlaku kepada pemahaman “tohonan” yang lain di HKBP seperti guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelis dan sintua. Di gereja-gereja Protestan secara umum dan khususnya HKBP cukup jelas perbedaan pelaksanaan penahbisan terhadap seorang pendeta dengan jabatan tahbisan lainnya. Penahbisan pendeta dilakukan dengan cara “penumpangan tangan” disertai dengan pembacaan “akta tahbisan”, yaitu ayat-ayat Alkitab atau rumusan teologis sesuai dengan “tohonan” tahbisan tersebut (akta tahbisan menurut agenda HKBP: Mat. 28:18-20; Yoh. 21:15-17; Kis. 20:17-35; 1 Tim. 3:1-7; 2 Tim. 1:5b), yang tidak dilakukan kepada tahbisan yang lain. Kekhususan jabatan tahbisan pendeta di HKBP sama dengan di gereja-gereja lain, adalah karena “tohonan hapanditaon i do na manghamham tohonan ni Kristus na tolu i, i ma Panurirang, Malim dohot Raja” (AP-HKBP 2002, bindu 25, 1-1, hal. 60). Kekhususan ini menjadi salah satu prasyarat bagi tohonan atau tahbisan pendeta untuk menyampaikan berkat dengan cara penumpangan tangan, sementara jabatan tahbisan yang lain di HKBP seperti guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelis dan sintua tidak diperkankan melakukan pemberkatan dengan cara penumpangan tangan (AP-HKBP 2002, bindu 25, 2.2.3b, 3.3c, 4.3b, 5.3b, 6.3c, hal. 60-66).
Menjadi pendeta berarti memiliki kharisma, pemberian, baik dalam bentuk wibawa (sahala), maupun dalam bentuk hikmat. Pemberian itu tidak diperoleh dari kemampuan yang dimiliki seorang penerima dan pengemban tahbisan, tetapi dari Tuhan sebagai oknum pemberi tahbisan. Berhubung oleh karena pemberi tahbisan, bukan manusia dan bukan pula pejabat gerejawi yang menempati posisi hierarchi tertinggi dalam struktur kepemimpinan gereja, maka kepatuhan seorang penerima tahbisan bukan kepada pejabat gerejawi, melainkan kepada Yesus Kristus, Raja Gereja itu.
Pendeta sebagai tohonan adalah penerima tugas panggilan Tuhan. Artinya, yang memberi “mandat” untuk memberitakan Firman Tuhan adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu, partohonan tidak berbicara atas dirinya sendiri melainkan atas nama Tuhan, yang memberikan kuasa Roh Kudus dalam melaksanakan tugas panggilannya. Keabsahan, validitas dan otoritas kependetaan seseorang sama dengan yang dimiliki oleh para nabi, rasul dan utusan Tuhan lainnya. Ia berhak, berkuasa, berwibawa memberitakan Firman Tuhan, bersaksi bahkan memberi teguran dan hukuman kepada warga jemaat (Yeh. 33:7-11; Mat. 16:19) hanya apabila Roh Kudus ada padanya.
Dengan demikian, pendeta bukan jabatan, bukan profesi, bukan lapangan pekerjaan, melainkan tugas panggilan Tuhan. Seseorang yang dipanggil Tuhan selalu ditempa, dibentuk lebih dahulu menjadi murid Yesus (Yes. 50:4-6). Pemuridan selalu merupakan lanjutan dari pemanggilan dan merupakan proses untuk pengutusan. Sekalipun pada akhirnya dituntut kemampuan (skills), wawasan dan pengetahuan dari seorang pendeta masa kini, namun yang menjadi dasar pendeta adalah tugas panggilan dari Tuhan. Seperti kata Yesus, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh. 15:16).
Inti pokok tohonan pendeta adalah kesetiaan dan kepatuhan kepada Dia yang memilih, memanggil dan mengutus seseorang menjadi pendeta, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, loyalitas kependetaan harus diletakkan kepada Kristus. Semua penerima tahbisan harus selalu mengaju dan tertuju kepada Kristus. Oleh karena itu, semua penerima tahbisan adalah sama-sama murid Kristus yang menerima tugas panggilan dan diutus langsung oleh Kristus.
4. AKTUALISASI TOHONAN PENDETA
Pendeta adalah “alat” dan “utusan” utuk memberitahukan Firman Allah kepada jemaat, masyarakat dan bangsa. Namun demikian, pendeta adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan keluarga dan sebagai bagian dari masyarakat setempat. Pendeta memiliki cara hidup, nilai-nilai kehidupan tersendiri yang tidak sama dengan masyarakat umum. Oleh karena itu, seorang pendeta harus dapat menempatkan dirinya secara pas dan tepat, sebagai bagian dari warga masyarakat sekaligus sebagai pelayan dan hamba Tuhan.
Dalam hal ini, apabila pendeta tersebut adalah seorang bapak atau ibu di dalam keluarga, maka semua anggota keluarga harus turut serta mendukung citra kependetaan tersebut. Keluarga pendeta harus menjadi suatu tim di dalam melaksanakan dan memelihara citra kependetaan. Pendeta masa lalu sering mengatakan kalau bapak adalah pendeta, maka isteri pertama adalah gereja (jemaat) dan istri kedua adalah ibu yang di dalam rumah tangga. Semboyan tersebut datang dari pemahaman bahwa pendeta hanya bertanggung jawab mengurus jemaat, sementara urusan keluarga tidak dilakukan lagi dan diserahkan total kepada istri pendeta tersebut. Semboyan tersebut tidak dapat lagi diterima pada masa kini. Citra pendeta dari seorang yang ditahbiskan turut serta ditentukan oleh keluarga dekatnya sendiri.
Jabatan tahbisan pendetaadalah berasal dari Tuhan Yesus Kristus, Raja Gereja. Kristuslah yang memanggil, menempatkan ,mengangkat dan mengutusnya menjadi seorang pendeta. Makna jabatan tahbisan (tohonan) pendeta lebih mengutamakan tugas fungsional, sebagaimana Kristus mengemban tugas kemesiasanNya secara fungsional, sebagai nabi, imam dan raja. Oleh karena itu, apabila ada seorang penerima jabatan tahbisan pendeta yang secara kebutalan atau karena diberi kesempatan memangku jabatan struktural, maka hendaknya tidak mengabaikan tugas fungsionalnya sebagai pendeta pemberita Firman Allah dan sebagai utusan Tuhan.
Jabatan tahbisan (tohonan) pendeta adalah kharisma, pemberian Tuhan, di mana Tuhan sendiri yang melayakkan dan memampukan seseorang untuk menjadi pendeta. Dengan demikian, jabatan tahbisan Pendeta bukan suatu pekerjaan profesional, bukan pula lapangan pekerjaan yang dicari dan diperoleh berdasarkan kemampuan (skills) manusia. Sebagai orang yang telah dilayakkan dan dimampukan Tuhan, maka seorang pendeta tahbisan memiliki kehususan, di mana ia akan menjadi panutan dan teladan dalam pola hidup, tingkah laku, perbuatan di tengah-tengah kehidupan. Kehidupan keluarga, kehidupan pribadinya, akan menjadi contoh yang baik yang dapat ditiru dan dapat dipraktekkan oleh orang lain. Dengan demikian, penerima tahbisan pendeta bukan saja sebagai utusan Tuhan, di dalam pemberitaan, kesaksian dan pelayanan; tetapi juga menjadi saluran berkat dalam kehidupan sehari-hari.
5. MAKNA DARI IBADAH MINGGU DI GEREJA MISSION BATAK
GMB merupakan bagian dari persekutuan Gereja Lutheran sedunia. Namun jika
kita melihat tata letak altar dan bangku-bangku di dalam gereja kita,
pada umumnya tidak menggambarkan pemahaman gereja Lutheran. Umumnya tata
letak altar gereja kita mengadopsi tata letak gereja Calvinis, dimana
mimbar pemberitaan firman Allah berada di tengah-tengah altar; dan
berada di posisi yang tinggi. Gereja Lutheran menempatkan mimbar
pemberitaan firman di sebelah kiri altar.)
Memang pemahaman kita tentang tata letak itu tidak seragam. Banyak orang yang menjadi arsitek pembangunan gedung gereja bukanlah seorang teolog. Mereka awam tentang hal tata letak, sehingga pertimbangan mereka hanyalah nilai estetika dan pertimbangan lainnya, tanpa didasari pandangan teologis. Banyak anggota jemaat yang tidak mengerti maknanya. Bahkan para pekerja pun banyak yang tidak mengerti. Saya sering mempertanyakan makna dari kembang yang ditaruh di atas meja di altar..
Umumnya alasan orang untuk menaruh kembang di sana hanyalah untuk estetika semata-mata. Pada hal bukanlah demikian menurut hemat saya secara pribadi. GPIB menyalakan lilin di meja tersebut, tentu ada makna dari lilin itu. HKBP umumnya menempatkan bunga. Apa makna bunga itu ? Kita menyalakan lilin di sana pada minggu Advent, ada maknanya. Kita pun menutup benda-benda di altar itu dengan kain berwarna tertentu, itu pun ada maknanya. Sekali lagi apa makna kembang tersebut ?
.
Bilamana kita memasuki gedung gereja itu (jemaat yang menyusun tata letaknya seperti pengajaran Gereja Lutheran) maka dapat kita katakan ruang gereja itu dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama ialah bagian tempat duduk untuk anggota jemaat, yaitu bangku-bangku yang berjejer di dalam gedung. Saya memahami bagian pertama ini sebagai bagian ‘wilayah dunia.’ Itulah yang diajarkan kepada kami pada waktu masih belajar sebagai calon sintua. Sementara bagian kedua ialah ‘altar.’ Adapun altar itu dipahami Gereja kita sebagai ‘wilayah kudus.’ Bagian kedua ini diartikan sebagai ‘wilayah surgawi.’ Oleh karena itu pula, bagi kita, altar itu pun kudus adanya.
Di tengah-tengah altar itu, ada sebuah peti empat persegi panjang, persis di bawah salib yang melekat ke tembok. Peti yang berukir dengan sangat indah itu, dipahami ‘sebagai meja makan Tuhan.’ Mengapa peti itu disebut meja makan Tuhan? Peti itu disebut demikian, karena di atas meja itu diletakkan roti dan anggur perjamuan. Menurut hemat saya, persembahan yang kita persembahkan kepada Tuhan, seyogianya ditaruh di atas meja makan Tuhan. Persembahan itu adalah sesuatu yang kudus, sehingga di sanalah tempat yang paling pas. Bukan seperti sekarang ditaruh di luar wilayah surgawi, di luar ‘altar.’ Meja makan adalah wilayah yang paling dalam dari satu rumah, hanya anggota keluarga yang duduk di sana. Meja makan itu semacam ‘inner chamber’ di dalam satu rumah. Alangkah indahnya, jika kita diundang untuk menghadiri upacara makan bersama di sekitar meja makan Tuhan pada acara perjamuan kudus. Sayang, sekarang ini hal praktis telah menggeser makna datang kepada Tuhan dalam perjamuan kudus, sehingga saya tidak lagi datang mendekat ke meja makan Tuhan dalam perjamuan kudus.
Di sebelah kiri kita, di sisi meja makan Tuhan, ada bejana tempat penyimpanan air untuk babtisan kudus. Martin Luther mengatakan bahwa babtisan adalah juga kabar baik – Injil – bagi kita. Itulah sebabnya posisinya sejajar dengan podium di sisi kanan, tempat Injil secara verbal diberitakan. Jadi Injil diberikan kepada kita melalui firman dan sakramen. Saya kuatir, orang datang ke kebaktian Minggu, tanpa mencoba merenungkan makna dari tata letak dari benda-benda yang ada di dalam ruangan Gereja tersebut. Saya takut, kita telah kehilangan makna dari tata letak dalam ibadah kita.
Di antara kabar baik menurut sakramen, dan kabar baik menurut firman, dekat dengan meja makan Tuhan, berdirilah seorang perantara, antara ‘wilayah ilahi’ dengan ‘wilayah dunia’. Kita melihat secara kasat mata, seorang sintua berdiri di sana. Tetapi pada hakekatnya, secara iman, dia yang berdiri itu adalah Tuhan Yesus Kristus. Sebab hanya Dia yang dapat mengantarai manusia dengan Allah. Dialah satu-satunya perantara manusia dengan Allah. Jadi sintua yang berdiri di altar itu adalah representasi dari Kristus. Oleh karena itu, betapa pentingnya sintua yang ‘maragenda’ itu sadar, betapa kudusnya tugasnya memimpin ibadah minggu tersebut. Ia berdiri di sana atas nama Tuhan, untuk memimpin ibadah perjumpaan antara jemaat dengan Allahnya. Ibadah minggu kita adalah ibadah perjumpaan dengan Allah. Kita tahu tidak ada manusia yang dapat mempertemukan Allah dengan manusia kecuali Tuhan Yesus Kristus. Jadi jelas, tugas sintua ‘maragenda’ adalah mempertemukan Allah dengan manusia di dalam ibadah minggu itu.
Dari tata letak ‘meja makan Tuhan’ dengan bangku-bangku, kita lihat jaraknya cukup jauh. Memang jarak antara Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa cukup jauh pula. Jarak surga dan dunia juga cukup jauh. Itulah sebabnya dibutuhkan seorang perantara, agar dimungkinkan pertemuan dan terjadi komunikasi di dalam pertemuan itu. Ketika Tuhan Yesus berdiri di altar tersebut, di dalam diri sintua yang menjadi liturgis, maka manusia yang duduk di bangku-bangku itu pun dapat mengadakan komunikasi dengan wilayah surgawi, yaitu ‘altar.’ Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah : apakah sintua yang bertugas sebagai liturgis itu menyadari makna dari tugasnya tersebut ? Kesan saya, mudah-mudahan saya salah, teman-teman sintua tidak menyadari hal itu. Mereka sering saya lihat bertindak sebagai ‘master of ceremony’ di dalam kebaktian tersebut. Bahkan ada yang tidak siap, hal itu terlihat dari tidak ikutnya sintua itu menyanyikan lagu nyanyian jemaat. Jika kita bertitik tolak dari pemahaman bahwa sintua yang menjadi liturgis itu adalah wakil Kristus di dalam memimpin jemaat, maka jika ia salah di dalam memimpin liturgi, maka dapatlah kita katakan Kristus juga salah! Apakah kita sadar akan hal itu? Marilah kita merenungkan hal itu di dalam lubuk hati kita yang paling dalam.
Kita datang ke Gereja pada hari Minggu, bukan hanya untuk mendengarkan firman Allah. Jika kita datang hanya untuk mendengarkan firman Allah, hal itu dapat kita lakukan di dalam rumah. Kita datang ke Gereja dan beribadah untuk berjumpa dengan Tuhan yang bangkit. Di dalam ibadah minggu itu, kita merefleksikan ibadah yang diselenggarakan oleh para malaikat di Surga. Di dalam ‘Doa Bapa Kami’, Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita agar kita berdoa: ”Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Menurut kitab Wahyu pasal 4 dan 5, ada kebaktian di Surga dilihat oleh Rasul Yohanes. Ibadah di Surga itu memusatkan penyembahannya pada Dia yang duduk di tahta itu dan Dia yang berdiri di tangah-tengah tahta itu, Anak Domba seperti telah disembelih, yaitu Yesus Kristus sendiri dengan segala karya-Nya. Jadi inti sari dari ibadah Kristen menurut hemat saya ialah: penyembahan kepada Allah dengan meninggikan karya Yesus Kristus. Kristus adalah pusat dari ibadah Kristen. Berbeda dengan ibadah kharismatik, yang menonjolkan Roh Kudus dengan karunia-karunia-Nya, ibadah GMB merefleksikan ibadah surgawi yang dilaporkan kitab Wahyu.
Menurut DR. A A. Sitompul dalam bukunya mengenai tata ibadah, beliau mengatakan bahwa ada ibadah di tiga tempat. Ibadah yang pertama diadakan di Surga, sebagaimana dilaporkan oleh kitab Wahyu. Ibadah kedua ada di Bumi, maksudnya di dalam ibadah minggu yang kita lakukan. Ibadah yang ketiga ada di dalam hati kita. Ketiga-tiganya haruslah berada di dalam satu ikatan yang harmonis, seperti ‘cord’ di dalam irama musik. Surga mengambil nada ‘do’, sementara kebaktian minggu kita mengambil nada ’mi’, dan yang terakhir, di hati kita mengambil nada ‘sol’. Setelah itu ketiganya sama-sama menyanyikan pujian kepada sang Bapa, Anak dan Roh Kudus! Bila nada yang mereka nyanyikan tidak pas, maka akan terasa nyanyian itu fals.
Banyak orang mengatakan bahwa ibadah GMB monoton, tanpa lebih dahulu menggali makna dari ibadah itu sendiri. Ibadah kharismatik, yang sangat populer sekarang ini, bahkan di dalam hati warga, menurut hemat saya, sangat bersifat ekspresif. Hal yang sangat ditonjolkan di dalam ibadah itu adalah perasaan manusia. Saya tidak melihat apa yang mereka refleksikan melalui ibadah itu! Karya Allahlah yang harus direfleksikan di dalam ibadah, lalu manusia memberikan respons terhadap karya itu melalui penyembahannya. Subyek yang paling dominan di dalam ibadah itu ialah Allah. Itulah yang direfleksikan ibadah GMB menurut penghayatan saya. Tempat kita berpijak sangat berbeda dengan kebaktian kharismatik.
Sebelum kebaktian dimulai, biasanya parhalado berkumpul lebih dahulu di konsistori. Pada hakekatnya bukanlah para petugas yang dijadwal pada hari itu yang harus hadir di dalam konsistori, melainkan seluruh anggota parhalado yang datang ke dalam kebaktian tersebut. Sebab parhalado adalah satu ‘corps,’ mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan kebaktian tersebut. Jadi sekalipun saya tidak bertugas pada hari itu, saya wajib masuk ke konsistori, minimal untuk mendoakan mereka yang bertugas pada hari itu. Itulah wujud dari tanggung jawab saya kepada Allah, yang telah memanggil saya menjadi pelayan-Nya di jemaat tersebut. Sekaligus itu adalah wujud dari tanggung jawab saya kepada ‘corps parhalado’. Sangat disayangkan, banyak juga teman-teman sintua yang tidak menyadari hal itu.
Di konsistori itu kita memeriksa seluruh acara yang akan kita selenggarakan, tentang kelayakannya. Kemudian acara yang sudah kita periksa itu kita bawakan ke hadiran Allah di dalam doa. Semua acara dari permulaan hinga akhir disampaikan di dalam doa, seolah-olah kita mengatakan kepada Allah, inilah yang akan kami lakukan di hadapan-Mu. Segala sesuatu yang tidak didoakan di dalam konsistori, seyogianya tidak dapat dilakukan di dalam ibadah. Kecuali warta yang sangat mendesak. Namun sangat disayangkan, sering kali kita melihat ada acara tambahan disampaikan kepada liturgis di tengah-tengah kebaktian. Sering kita melihat koor menyanyi sampai dua kali, pada hal di dalam daftar acara hanya satu kali.
Setelah parhalado berdoa, maka lonceng Gereja dibunyikan. Suatu pertanda bahwa seorang Raja segala raja dan Tuhan segala Tuan akan memasuki tempat ibadah. Anggota jemaat pun memberi respons terhadap bunyi lonceng itu dengan menaikkan doa-doa pribadinya ke hadirat Allah. Maka parhalado pun memasuki ruangan. Ibadah siap dilaksanakan.
Memang pemahaman kita tentang tata letak itu tidak seragam. Banyak orang yang menjadi arsitek pembangunan gedung gereja bukanlah seorang teolog. Mereka awam tentang hal tata letak, sehingga pertimbangan mereka hanyalah nilai estetika dan pertimbangan lainnya, tanpa didasari pandangan teologis. Banyak anggota jemaat yang tidak mengerti maknanya. Bahkan para pekerja pun banyak yang tidak mengerti. Saya sering mempertanyakan makna dari kembang yang ditaruh di atas meja di altar..
Umumnya alasan orang untuk menaruh kembang di sana hanyalah untuk estetika semata-mata. Pada hal bukanlah demikian menurut hemat saya secara pribadi. GPIB menyalakan lilin di meja tersebut, tentu ada makna dari lilin itu. HKBP umumnya menempatkan bunga. Apa makna bunga itu ? Kita menyalakan lilin di sana pada minggu Advent, ada maknanya. Kita pun menutup benda-benda di altar itu dengan kain berwarna tertentu, itu pun ada maknanya. Sekali lagi apa makna kembang tersebut ?
.
Bilamana kita memasuki gedung gereja itu (jemaat yang menyusun tata letaknya seperti pengajaran Gereja Lutheran) maka dapat kita katakan ruang gereja itu dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama ialah bagian tempat duduk untuk anggota jemaat, yaitu bangku-bangku yang berjejer di dalam gedung. Saya memahami bagian pertama ini sebagai bagian ‘wilayah dunia.’ Itulah yang diajarkan kepada kami pada waktu masih belajar sebagai calon sintua. Sementara bagian kedua ialah ‘altar.’ Adapun altar itu dipahami Gereja kita sebagai ‘wilayah kudus.’ Bagian kedua ini diartikan sebagai ‘wilayah surgawi.’ Oleh karena itu pula, bagi kita, altar itu pun kudus adanya.
Di tengah-tengah altar itu, ada sebuah peti empat persegi panjang, persis di bawah salib yang melekat ke tembok. Peti yang berukir dengan sangat indah itu, dipahami ‘sebagai meja makan Tuhan.’ Mengapa peti itu disebut meja makan Tuhan? Peti itu disebut demikian, karena di atas meja itu diletakkan roti dan anggur perjamuan. Menurut hemat saya, persembahan yang kita persembahkan kepada Tuhan, seyogianya ditaruh di atas meja makan Tuhan. Persembahan itu adalah sesuatu yang kudus, sehingga di sanalah tempat yang paling pas. Bukan seperti sekarang ditaruh di luar wilayah surgawi, di luar ‘altar.’ Meja makan adalah wilayah yang paling dalam dari satu rumah, hanya anggota keluarga yang duduk di sana. Meja makan itu semacam ‘inner chamber’ di dalam satu rumah. Alangkah indahnya, jika kita diundang untuk menghadiri upacara makan bersama di sekitar meja makan Tuhan pada acara perjamuan kudus. Sayang, sekarang ini hal praktis telah menggeser makna datang kepada Tuhan dalam perjamuan kudus, sehingga saya tidak lagi datang mendekat ke meja makan Tuhan dalam perjamuan kudus.
Di sebelah kiri kita, di sisi meja makan Tuhan, ada bejana tempat penyimpanan air untuk babtisan kudus. Martin Luther mengatakan bahwa babtisan adalah juga kabar baik – Injil – bagi kita. Itulah sebabnya posisinya sejajar dengan podium di sisi kanan, tempat Injil secara verbal diberitakan. Jadi Injil diberikan kepada kita melalui firman dan sakramen. Saya kuatir, orang datang ke kebaktian Minggu, tanpa mencoba merenungkan makna dari tata letak dari benda-benda yang ada di dalam ruangan Gereja tersebut. Saya takut, kita telah kehilangan makna dari tata letak dalam ibadah kita.
Di antara kabar baik menurut sakramen, dan kabar baik menurut firman, dekat dengan meja makan Tuhan, berdirilah seorang perantara, antara ‘wilayah ilahi’ dengan ‘wilayah dunia’. Kita melihat secara kasat mata, seorang sintua berdiri di sana. Tetapi pada hakekatnya, secara iman, dia yang berdiri itu adalah Tuhan Yesus Kristus. Sebab hanya Dia yang dapat mengantarai manusia dengan Allah. Dialah satu-satunya perantara manusia dengan Allah. Jadi sintua yang berdiri di altar itu adalah representasi dari Kristus. Oleh karena itu, betapa pentingnya sintua yang ‘maragenda’ itu sadar, betapa kudusnya tugasnya memimpin ibadah minggu tersebut. Ia berdiri di sana atas nama Tuhan, untuk memimpin ibadah perjumpaan antara jemaat dengan Allahnya. Ibadah minggu kita adalah ibadah perjumpaan dengan Allah. Kita tahu tidak ada manusia yang dapat mempertemukan Allah dengan manusia kecuali Tuhan Yesus Kristus. Jadi jelas, tugas sintua ‘maragenda’ adalah mempertemukan Allah dengan manusia di dalam ibadah minggu itu.
Dari tata letak ‘meja makan Tuhan’ dengan bangku-bangku, kita lihat jaraknya cukup jauh. Memang jarak antara Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa cukup jauh pula. Jarak surga dan dunia juga cukup jauh. Itulah sebabnya dibutuhkan seorang perantara, agar dimungkinkan pertemuan dan terjadi komunikasi di dalam pertemuan itu. Ketika Tuhan Yesus berdiri di altar tersebut, di dalam diri sintua yang menjadi liturgis, maka manusia yang duduk di bangku-bangku itu pun dapat mengadakan komunikasi dengan wilayah surgawi, yaitu ‘altar.’ Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah : apakah sintua yang bertugas sebagai liturgis itu menyadari makna dari tugasnya tersebut ? Kesan saya, mudah-mudahan saya salah, teman-teman sintua tidak menyadari hal itu. Mereka sering saya lihat bertindak sebagai ‘master of ceremony’ di dalam kebaktian tersebut. Bahkan ada yang tidak siap, hal itu terlihat dari tidak ikutnya sintua itu menyanyikan lagu nyanyian jemaat. Jika kita bertitik tolak dari pemahaman bahwa sintua yang menjadi liturgis itu adalah wakil Kristus di dalam memimpin jemaat, maka jika ia salah di dalam memimpin liturgi, maka dapatlah kita katakan Kristus juga salah! Apakah kita sadar akan hal itu? Marilah kita merenungkan hal itu di dalam lubuk hati kita yang paling dalam.
Kita datang ke Gereja pada hari Minggu, bukan hanya untuk mendengarkan firman Allah. Jika kita datang hanya untuk mendengarkan firman Allah, hal itu dapat kita lakukan di dalam rumah. Kita datang ke Gereja dan beribadah untuk berjumpa dengan Tuhan yang bangkit. Di dalam ibadah minggu itu, kita merefleksikan ibadah yang diselenggarakan oleh para malaikat di Surga. Di dalam ‘Doa Bapa Kami’, Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita agar kita berdoa: ”Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga”. Menurut kitab Wahyu pasal 4 dan 5, ada kebaktian di Surga dilihat oleh Rasul Yohanes. Ibadah di Surga itu memusatkan penyembahannya pada Dia yang duduk di tahta itu dan Dia yang berdiri di tangah-tengah tahta itu, Anak Domba seperti telah disembelih, yaitu Yesus Kristus sendiri dengan segala karya-Nya. Jadi inti sari dari ibadah Kristen menurut hemat saya ialah: penyembahan kepada Allah dengan meninggikan karya Yesus Kristus. Kristus adalah pusat dari ibadah Kristen. Berbeda dengan ibadah kharismatik, yang menonjolkan Roh Kudus dengan karunia-karunia-Nya, ibadah GMB merefleksikan ibadah surgawi yang dilaporkan kitab Wahyu.
Menurut DR. A A. Sitompul dalam bukunya mengenai tata ibadah, beliau mengatakan bahwa ada ibadah di tiga tempat. Ibadah yang pertama diadakan di Surga, sebagaimana dilaporkan oleh kitab Wahyu. Ibadah kedua ada di Bumi, maksudnya di dalam ibadah minggu yang kita lakukan. Ibadah yang ketiga ada di dalam hati kita. Ketiga-tiganya haruslah berada di dalam satu ikatan yang harmonis, seperti ‘cord’ di dalam irama musik. Surga mengambil nada ‘do’, sementara kebaktian minggu kita mengambil nada ’mi’, dan yang terakhir, di hati kita mengambil nada ‘sol’. Setelah itu ketiganya sama-sama menyanyikan pujian kepada sang Bapa, Anak dan Roh Kudus! Bila nada yang mereka nyanyikan tidak pas, maka akan terasa nyanyian itu fals.
Banyak orang mengatakan bahwa ibadah GMB monoton, tanpa lebih dahulu menggali makna dari ibadah itu sendiri. Ibadah kharismatik, yang sangat populer sekarang ini, bahkan di dalam hati warga, menurut hemat saya, sangat bersifat ekspresif. Hal yang sangat ditonjolkan di dalam ibadah itu adalah perasaan manusia. Saya tidak melihat apa yang mereka refleksikan melalui ibadah itu! Karya Allahlah yang harus direfleksikan di dalam ibadah, lalu manusia memberikan respons terhadap karya itu melalui penyembahannya. Subyek yang paling dominan di dalam ibadah itu ialah Allah. Itulah yang direfleksikan ibadah GMB menurut penghayatan saya. Tempat kita berpijak sangat berbeda dengan kebaktian kharismatik.
Sebelum kebaktian dimulai, biasanya parhalado berkumpul lebih dahulu di konsistori. Pada hakekatnya bukanlah para petugas yang dijadwal pada hari itu yang harus hadir di dalam konsistori, melainkan seluruh anggota parhalado yang datang ke dalam kebaktian tersebut. Sebab parhalado adalah satu ‘corps,’ mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan kebaktian tersebut. Jadi sekalipun saya tidak bertugas pada hari itu, saya wajib masuk ke konsistori, minimal untuk mendoakan mereka yang bertugas pada hari itu. Itulah wujud dari tanggung jawab saya kepada Allah, yang telah memanggil saya menjadi pelayan-Nya di jemaat tersebut. Sekaligus itu adalah wujud dari tanggung jawab saya kepada ‘corps parhalado’. Sangat disayangkan, banyak juga teman-teman sintua yang tidak menyadari hal itu.
Di konsistori itu kita memeriksa seluruh acara yang akan kita selenggarakan, tentang kelayakannya. Kemudian acara yang sudah kita periksa itu kita bawakan ke hadiran Allah di dalam doa. Semua acara dari permulaan hinga akhir disampaikan di dalam doa, seolah-olah kita mengatakan kepada Allah, inilah yang akan kami lakukan di hadapan-Mu. Segala sesuatu yang tidak didoakan di dalam konsistori, seyogianya tidak dapat dilakukan di dalam ibadah. Kecuali warta yang sangat mendesak. Namun sangat disayangkan, sering kali kita melihat ada acara tambahan disampaikan kepada liturgis di tengah-tengah kebaktian. Sering kita melihat koor menyanyi sampai dua kali, pada hal di dalam daftar acara hanya satu kali.
Setelah parhalado berdoa, maka lonceng Gereja dibunyikan. Suatu pertanda bahwa seorang Raja segala raja dan Tuhan segala Tuan akan memasuki tempat ibadah. Anggota jemaat pun memberi respons terhadap bunyi lonceng itu dengan menaikkan doa-doa pribadinya ke hadirat Allah. Maka parhalado pun memasuki ruangan. Ibadah siap dilaksanakan.
TEOLOGI LITURGI
I. PENGANTAR UMUM
Liturgi (sama dengan ibadah atau sembah kepada Allah) mengacu pada teologi (pemahaman dan penghayatan) akan Allah yang dihayati oleh suatu gereja. Kritis terhadap liturgi adalah kritis terhadap teologi yang dianut. Pada gilirannya kontekstualisasi liturgi adalah kontekstualisasi terhadap teologi dan kehidupan bergereja. Struktur (bangunan) teologi yang diyakini, akan membentuk bangunan liturgi.
Liturgi merupakan bagian yang penting dalam persekutuan (koinonia) umat. Persekutuan -–sebagai salah satu dari tritugas gereja-- tidak dapat dipisahkan dari dua aspek lain tritugas gereja, yakni pelayanan (diakonia) dan kesaksian (marturia). Dalam liturgi kasih Allah dirayakan (di-selebrasi-kan), baik dalam persekutuan (koinonia) maupun dalam aksi pelayanan (diakonia). Keduanya menyaksikan (marturia) kasih Allah pada dunia.
Dalam liturgi (dalam perayaan keselamatan), gereja merayakan perngenangan akan jati dirinya dalam sejarah. Dalam liturgi, gereja dapat mundur ke belakang, dihubungkan dengan masa lampau. Dalam liturgi, gereja ikut duduk bersama di antara murid pada malam Perjamuan terakhir, menerima perintah, merasakan solideritas kasih Allah, merasakan ancaman penderitaan yang akan dijalani Yesus di kayu salib. Dengan liturgi, masa lalu yang aktif kembali tersebut mendorong gereja untuk bertindak sekarang dan menuju ke masa depan.
Kontekstualisasi liturgi adalah suatu usaha bagaimana “perayaan-peringatan” keselamatan tersebut dialami dan aktual di sini dan kini sebagai keselamatan dan rekonsiliasi (pendamaian) antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia. Bagaimana ini dipahami?
1. Allah
Allah adalah kasih yang dalam kebebasanNya mau berbagi atau solider dengan manusia (dunia) yang menderita. Manusia menjadi “mengerti” akan sifat dan jati diri Allah tatkala menyadari akan keterhubungan solidaritas tersebut. Dan gambaran yang paling lengkap untuk menjelaskan keterhubungan solidaritas ini adalah salib dan penderitan. Dalam penderitaan salib, Allah benar-benar solider akan malapetaka dan derita manusia.
2. Manusia
Calvin melihat bahwa manusia demikian gelap dan hancur dalam kodratnya. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” (Roma 3:10-18). Situasi manusia seperti ini adalah situasi manusia yang disalibkan. Sebuah keberadaan manusia di mana kemanusiaan tidak dapat dilaksanakan. Tidak ada daya untuk menyelamatkan diri. Manusia hanya dapat berseru “Ya, Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaku” (Lukas 23:46). Maka solidaritas dan kasih sayang Allah adalah kunci dari semua.
3. Liturgi
Dalam dan melalui Roh Kudus, karya penyelematan dan keterhubungan solideritas Allah terus berlanjut dalam dunia milikNya. Gereja sebagai Tubuh Kristus menjadi tanda akan pemeliharaan dan solidaritas Allah yang senantiasa diperbaharui.
1. Liturgi adalah tindakan bersama Yesus Kristus (Imam Tertinggi, Kepala Gereja) dengan gerejaNya untuk keselamatan umat manusia dan pemulian Bapa di Sorga. Dalam liturgi, Kristus menyatakan kasihNya kepada gerejaNya sebagai tubuhNya. Dalam liturgi, gereja merealisasikan dirinya sebagai gereja Kristus.
2. Tindakan liturgi adalah tindakan yang komunikatif antara gereja dan Kepala gereja. Gereja pada dirinya tidak dapat memberikan keselamatan kepada dunia. Keselamatan hanya pada Allah semata. Gereja ada tidak untuk dirinya, namun mengabdi pada Kristus. Dalam tindakan liturgis karya Allah diingat dan dirayakan. Kata-kata yang mengandung praksis (aksi dan refleksi) gereja dulu dan kini dikomunikasikan. Akhirnya, liturgi menjadi tindakan yang sarat dengan makna, menjadi tindakan yang komunikatif untuk segala zaman. Liturgi adalah tindakan perayaan-pengenangan (selebrasi anamnesis) yang komunikatif.
II. TEOLOGI IBADAH HARI MINGGU
Ibadah hari Minggu bersumber dari sejarah para Bapa Gereja yang sangat tua dan kaya. Ibadah hari Minggu adalah perayaan Ibadah Paskah yang asli. Pada hari pertama minggu Yahudi, umat Kristen mula-mula berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan. Pada masa kemudian di akhir abad ke-2, yang dimaksud perayaan hari pertama dalam minggu itu tak lain adalah Paskah mingguan, yakni hari Tuhan, hari Tuhan Yesus bangkit. Setiap hari mereka berkumpul dan beribadah di Bait Allah di Yerusalem (Kis 2:46), di rumah-rumah ibadah diluar Yerusalem, dan di rumah-rumah tangga untuk memecahkan roti.
Hari Minggu mengacu pada peringatan kebangkitan Tuhan Yesus. Kebangkitan terjadi pada hari pertama minggu itu, yakni hari Minggu. Jadi bukan hari sabat sebagaimana yang sering dikira banyak orang Kristen sekarang!!! Pada hari kebangkitan (Minggu), terjadi pembaharuan kembali penciptan (rekreatio) melalui pemulihan kembali hubungan semesta dan isinya dengan Allah. Inilah pusat liturgi Kristen.
III. MAKNA TEOLOGIS UNSUR-UNSUR LITURGI
Peringatan (anamnesis) merupakan fakta yang sentral dalam liturgi. Layaknya gereja reformasi, maka struktur dasar liturgi harusnya memuat “Pemberitaan Firman” dan ”Perjamuan Kudus”. Perayaan Perjamuan Kudus merupakan wahana yang tak ada duanya di dalam perayaan-peringatan.
Calvin menegaskan bahwa sakramen memperteguh firman. Tanpa sakramen, firman dapat hanya menjadi pidato atau omongan dalam persekutuan belaka. Perjamuan Kudus memberikan tempat bagi kita untuk merayakan dan mengalami keselamatan dalam simbol-simbol yang kaya makna. Perjamuan Kudus memberikan kita tempat untuk berhadapan dengan roti dan anggur perjamuan, membantu kita untuk berefleksi (dan “bermeditasi”) terhadap kesolidaritasan Allah pada penderitaan sekaligus perlawanan terhadap kejahatan. Dalam perjamuan, dalam simbol-simbol yang kaya makna, Perjamuan Kudus berbicara dalam gerak penerimaan tangan kita, pendengaran kita, penglihatan kita, akal budi kita dan menembus cakrawala hati yang lebih luas, yang barangkali tidak dapat dicapai oleh khotbah!
Dengan tetap melaksanakan Perjamuan Kudus, kita tetap menjaga kontinuitas sejarah hari Minggu yang terkait erat dengan peristiwa Paskah, terkhusus peringatan kebangkitan Yesus. Dengan struktur liturgi yang merayakan dalam pengenangan, kita tidak hanya terpusat pada Pengakuan Dosa, Berita Anugerah dan Khotbah. Tetapi ibadah menjadi perayaan pembebasan, perayaan kemenangan, perayaan solidaritas Allah yang ditunjukkan dalam diri Yesus.
IV. SAKRAMEN BAPTIS KUDUS DAN PERJAMUAN KUDUS
A. SAKRAMEN
Sakramentum (Latin) dari bahasa Yunani mysterion, yang berarti misteri. Menunjuk pada tindakan penyelamatan Allah yang misterius, tidak dapat dimengerti (rahasia). Kristus sendiri sebenarnya misteri bagi kita. (“Allah kok manusia? Allah kok jadi manusia? Manusia kok anak Allah? Satu manusia mati kok manusia ditebus dosanya? dll.).
Sakramen adalah tanda kelihatan yang menunjuk pada anugerah (keselamatan) yang tidak kelihatan. Sakramen adalah tanda lahiriah (Latin: symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam hidup kita janji-janji akan anugerah-Nya terhadap kita. Sakramen dapat disebut sebagai suatu kesaksian tentang rahmat Allah terhadap kita, yang ditegaskan dengan tanda lahiriah dan yang dijawab dari pihak kita dengan pernyataan kasih dan kesetiaan kita kepada-Nya.
Sakramen memperteguh kepercayaan kita pada Firman Tuhan. Meskipun kebenaran dari Allah cukup terang dan jelas, namun iman kita tidak kebal dari godaan yang dapat menggoyahkan dan mengombang-ambingkan. Calvin mengatakan: “. . . maka Allah, dalam kerahiman-Nya yang tidak bertepi menyesuaikan dengan daya faham kita, sehingga Ia tidak berkeberatan bila kita dibimbing-Nya kepada diriNya justru dengan unsur-unsur bendawi.1
“Maka . . . , jika seseorang layak untuk mengikuti kebaktian Pemberitaan Firman, mengapa terkadang merasa tidak layak untuk mengikuti Perjamuan Kudus (sakramen)? Bukankah sakramen memperteguh iman dan pemberitaan firman?”
B. SAKRAMEN BAPTIS KUDUS
Sakramen Baptisan adalah sebuah tanda “perjanjian” yang ditetapkan Allah untuk memeteraikan janjiNya. Janji Allah itu berisi tentang: bahwa Ia berkenan “berdamai” dengan kita.
Peristiwa baptisan, adalah peristiwa di mana seseorang masuk ke dalam kesatuan dengan Kristus, diakui menjadi anak-anak Allah, menjadi bagian dari Gereja Kristus (Tubuh Kristus). Oleh sebab itu dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang dibaptis, maka ia juga akan menerima Perjamuan Kudus. Gereja mula-mula memandang bahwa Perjamuan Kudus adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Baptis. Dua sakramen ini adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Baptisan merupakan tanda dan bukti pembersihan dosa kita. Baptisan seumpama pemberian surat bermeterai yang menegaskan kepada kita bahwa dosa kita telah dihapus, dan ditiadakan sedemikian rupa sehingga. Ini tidak dapat dilakukan oleh manusia. Baptisan menunjuk pada penyucian melalui pencurahan darah Kristus. Kristus sendiri, di dalamNya dan dengan perantara Roh Kudus. Maka kalimat yang paling tepat di dalam pembaptisan adalah : “Engkau dibaptiskan dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”
Air di dalam baptisan menjadi lambang penyuci dan pembersih. Dengan pembersihan dan penyucian dosa dalam karya penebusan, hubungan manusia dengan Allah dipulihkan. Yang telah dipulihkan itu mesti ditumbuhkan, maka air baptisan menjadi lambang dari sesuatu yang menumbuhkan dan menghidupkan.
Selaras dengan hal itu, air baptisan juga dapat bermakna sebagai “kubur dan rahim”. Kubur adalah kematian, sedangkan rahim adalah kelahiran. Baptisan adalah tanda dimatikannya (dikuburkannya) kita dari kehidupan lama (dosa), selanjutnya dilahirkan kembali oleh rahim untuk memasuki kehidupan baru. Sehingga, orang-orang yang telah dibaptis, masuk ke dalam gereja Kristus, adalah orang-orang yang telah hidup dengan kehidupan yang baru. 3
Manusia dibaptis bukan karena prestasi imannya. Kematangan atau kedewasaan iman seseorang tidak menjadi prasyarat bahwa ia lebih layak dibaptis dari orang lain yang belum matang atau dewasa iman. Sebab bukan iman atau pengertian yang menjadikan baptisan efektif, tapi adalah janji Allah. Anak orang Kristen dibaptis bukan karena prestasi imannya, namun karena janji anugerah semata-mata dari Allah.
Demikian juga Perjamuan Kudus!
Kematangan, kedewasaan, pengertian, apalagi prestasi iman, bukan pra-syarat seseorang layak ikut Perjamuan Kudus. Sama seperti tidak adanya pra-syarat semacam itu untuk baptis anak! Karena semua adalah anugerah semata-mata!
Seperti janji Allah yang juga berlaku untuk anak-anak dan cucu Abraham yang harus bersunat, maka janji Allah juga berlaku bagi anak-anak orang Kristen. Orang tua Kristen sebagai orang yang telah menerima janji kasih Allah, harus menyertakan anak-anaknya dalam janji Allah itu. Orang tua Kristen wajib memasukkan anak-anaknya sebagai bagian dari perjanjiannya dengan Allah. Sehingga baptisan juga berlaku bagi bayi atau anak orang Kristen.
Di sinilah tampak inti INJIL, bahwa keselamatan --yang ditandai dalam BAPTIS dan PERJAMUAN KUDUS, itu bukan pahala atas prestasi iman manusia. Akan tetapi keselamatan adalah hadiah yang ditawarkan kepada kita oleh Kristus sebagai anugerah semata-mata.
Pada waktu baptisan, Kristus berjanji untuk selama-lamanya menjadi juru selamat kita. Maka baptisan ini juga sekali untuk selama-lamanya. Seseorang yang pernah dibaptis, jika ia masuk ke Gereja lain atau pindah gereja maka tidak perlu dibaptis lagi. Perbuatan membaptis ulang menunjukkan ketidakmengertian yang sangat mendasar akan hakikat baptis. Praktek pembaptisan ulang seakan-akan menganggap karya Kristus dalam baptisan yang pernah terjadi tidak ada. Ini adalah pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus dalam baptisan. Karena janji yang sudah dibuat oleh Kristus bersifat kekal.
Jika bayi atau anak kecil yang kita baptiskan dikemudian hari menjadi dewasa, tentunya ia perlu menyatakan tanggapannya sendiri. Inilah yang disebut SIDI.
Apakah SIDI ?
Sidi adalah pengindonesiaan dari singkatan CD (dibaca ci-di). CONFETIO DEI (CD), yang artinya pengakuan atau pengimanan akan Tuhan. Seseorang yang telah cukup dewasa, maka ia perlu mengakui Tuhan atau menyatakan imannya di hadapan orang banyak (gereja). Pengakuan ini berkaitan dengan peran dan tanggungjawabnya selayaknya orang Kristen yang dewasa, yakni orang yang diutus untuk BERSAKSI DAN MELAYANI. Dia adalah bagian dari gereja yang diutus oleh Allah di dalam dunia.
Jadi sidi sebagai perwujudan kedewasaan, bukanlah prasyarat, --bahkan tidak ada kait-mengaitnya dengan kelayakan seseorang-- untuk mengikuti PERJAMUAN KUDUS. Karena perjamuan kudus tidak disyaratkan dengan bahwa seseorang boleh ikut karena sudah dewasa.
C. SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS
Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sakramen yang ditetapkan oleh Allah. Kedua Sakramen ini mendapat tempat yang setara dalam kehidupan Gereja. Sulit untuk mempertanggungjawabkan secara teologis jika gereja membolehkan seseorang untuk dibaptis tetapi tidak memperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Anak-anak yang telah layak dibaptis, maka pada saat yang sama juga layak untuk ikut dalam Perjamuan Tuhan.5
Perjamuan Kudus bagi anak-anak dalam gereja mula-mula (hingga abad 12) adalah hal yang biasa. Pada abad 11, Imam memasukkan jarinya ke dalam cawan minuman, lalu menaruhnya di bibir atau mulut bayi. Namun di Barat, kemudian tradisi ini menghilang. Hal yang menyebabkan adalah penekanan secara ekstrim pada ke-sakral-an dan ke-mistis-an Perjamuan Kudus. Bahkan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya, misalnya saat minum anggur jangan sampai anggur tumpah, karena akan mendatangkan dosa dsb. Pada saat itu, anggota Jemaat semakin takut untuk ikut Perjamuan Kudus.
1. Perjamuan Kudus adalah : PERAYAAN PENGENANGAN (anamnesis)
Iman Kriten dimulai dan berpusat pada paskah. Suatu peristiwa penebusan dan kebangkitan Kristus mengalahkan maut dan memperbaharui hidup segenap ciptaan. Gereja tidak hanya diminta untuk memproklamirkan kabar ini, tetapi diminta untuk menghadirkan kembali peristiwa keselamatan itu menjadi aktual di sini dan kini. Kabar keselamatan menjadi sangat nyata. Apa yang dirasakan, diharapkan, disaksikan oleh para murid pada Perjamuan Paskah terakhir itu diharapkan dihadirkan kembali (sekarang) oleh umat.
Dengan Perjamuan Kudus, Jemaat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kisah murid Tuhan. Bagaikan seorang anak, kita yang merayakan Perjamuan Kudus duduk di antara para murid yang mendapat perintah: “Lakukanlah…menjadi peringatan akan Aku…”
Perjamuan Kudus menunjuk pada keterhubungan solidaritas. Yesus pada malam yang mengerikan itu, rindu makan paskah dengan para murid-Nya untuk meneguhkan kasih, persahabatan, solidaritas di meja perjamuan. Yesus memulai ritus itu dengan mengucap syukur (Ibrani: berakha) dan memecah roti. Yang tak lazim pada pemaknaan roti dan anggur: “…kata-kata itu merupakan suatu nubuat dan janji tentang kehadiran-Nya, yang baru akan dimengerti kelak pada Perjamuan Kudus yang dirayakan pada masa-masa sesudah itu.”
2. Perjamuan Kudus adalah : PERAYAAN KEERATAN KASIH KEPADA ALLAH DAN SESAMA
Perjamuan Kudus adalah tindakan berbagi sebagai suatu persekutuan. Perjamuan Kudus adalah peringatan akan aktualisasi jati diri gereja yang diutus ke dalam dunia untuk: “menyampaikan khabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebesan bagi orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orng buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas.” (Lukas 4:18). Dalam Perjamuan Kudus persekutuan yang sangat erat diaktualisasikan, baik dengan Allah, dan juga kepada sesama. Dalam perjamuan Kudus, gereja benar-benar memproklamirkan diri sebagai tubuh Kristus.
“Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1 Kor. 10:16-17)
Calvin menegaskan, “Makan secara jasmani dalam Perjamuan Kudus menunjuk kepada makan secara rohani untuk penguatan jiwa karena dipersatukan dengan Kristus. Kita betul-betul menjadi satu dengan tubuh dan darah-Nya.6
Dalam 1 Korintus 11:17-34 Paulus menegur Jemaat Korintus karena punya perilaku buruk dalam melaksanakan Perjamuan. Ketika mereka berkumpul untuk makan perjamuan, mereka makan layaknya bukan makan Perjamuan Tuhan, tapi makan yang mengumbar nafsu. Yang datang terlebih dulu, maka dahulu memakan makanannya sendiri. Perut sendiri yang dipentingkan. Ada yang kekenyangan sampai mabuk, tapi yang lain (yang miskin, tidak punya makanan) kelaparan. Tidak terlihat kasih dalam saling berbagi rasa dalam hal menikmati Perjamuan Tuhan. Penekanan dalam hal untuk saling sedia berbagi dalam menyantap Perjamuan Tuhan itu ditekankan di awal dan di akhir perikop tersebut.
“Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti dan minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu makan roti dan minum dari cawan itu “ (ayat 27-28)
Kata “tidak layak” dalam tekanan Rasul Paulus di sini (yang sering dikutip secara sepenggal dalam pratelan) adalah ketika Jemaat Korintus makan secara brutal dan penuh nafsu pada saat Perjamuan Kudus. Perjamuan Tuhan dilakukan, namun tindakannya (utamanya dalam makan dan minum) liar.
Jadi, ayat tersebut berbicara tentang perilaku yang tidak pantas dalam mengikuti Perjamuan Tuhan. Bukan suatu pra-kondisi, yakni kesucian batin sebagai prasyarat untuk ikut Perjamuan Kudus sebagaimana sering “dipathok” oleh gereja bagi warganya yang akan ikut Perjauman Kudus. Jika kesucian diri menjadi syarat, maka rasanya hampir tidak ada orang yang layak ikut Perjamuan Kudus. Rasanya justru anak-anak yang lebih layak. Bukankah mereka lebih polos, masih belum berpikir tentang korupsi, selingkuh, bisnis dengan curang, dll? Pengujian diri lebih berbicara soal kerelaan untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan dalam menyambut anugerah itu. Yang tentunya harus diwujudkan dalam berbagai aspek hidup, termasuk moralitas.
Tentunya juga diakui, bahwa Perjamuan Kudus harus mendorong dan menguatkan orang yang menikmatinya untuk punya moralitas dan perilaku hidup yang semakin memancarkan kasih. Dan oleh Paulus sangat tegas menyatakan soal solidaritas. Yakni kasih yang nyata di-share-kan. (ayat 21, 22, 33, 34). Makan Perjamuan sangat mengindahkan tindakan berbagi dan solidaritas pada yang kelaparan dan miskin. Dalam tradisi Gereja perdana, setiap orang membawa persembahan (roti dan anggur) kemudian persembahan itu dibagikan pada saat perjamuan. Dan makan perjamuan tidak hanya bagi yang hadir, namun juga bagi yang tidak hadir: orang jompo, orang sakit, budak, orang miskin, gelandangan, dll. Perjamuan Kudus sangat kental dengan dimensi sosial.
3. Perjamuan Kudus adalah : PERAYAAN PEMELIHARAAN ALLAH
1 Korintus 11:17-34, memperlihatkan bahwa perayaan Perjamuan Tuhan adalah benar-benar dengan makan dan minum dalam arti yang sebenar-benarnya. Berkat keselamatan dari Allah adalah masalah rohani, sekaligus jasmani. Dalam perayaan Perjamuan Tuhan, berkat itu menjadi sangat nyata, dekat sekali dengan hal yang paling dasar dengan kebutuhan hidup manusia, yakni makanan dan minuman. Berkat Tuhan bukan hanya soal keselamatan jiwani -- masuk sorga, namun juga dalam wujud makanan dan minuman yang dapat dikecap dan rasakan.
4. Perjamuan Kudus adalah : suatu PERAYAAN PENGHARAPAN (eskaton)
“Sebab, setiap kali kamu makan roti ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1 Korintus 11:26). Perjamuan Kudus meyakinkan kita bahwa masa depan tidak akan hilang. Pengharapan senantiasa ada bahwa suatu saat nanti kita akan makan Perjamuan Kudus dengan Tuhan dalam Kerajaan-Nya.
D. PERJAMUAN KUDUS BAGI ANAK-ANAK
Telah sekian ratus tahun gereja memberlakukan sebuah “undang-undang”: bahwa yang layak mengikuti Perjamuan Kudus adalah orang dewasa (anggota Jemaat Sidi) dan yang sedang tidak dalam penggembalaan khusus (siasat gerejawi). Anak-anak belum boleh. Alasan teologis tidak dapat dikemukakan. Alasan lebih kepada soal tradisi. Sehubungan dengan tradisi itu maka berbagai alasan dikemukakan, seperti : “…mereka ‘kan belum dewasa, jadi belum mengerti!” atau “….ketika dibaptis, iman mereka ‘kan masih ikut iman orang tuanya” atau “bagaimana pendadarannya bagi anak-anak, ‘kan mereka belum mudheng!” dll. Jujur kita akui, bahwa disadari atau tidak, alasan yang dibuat-buat ini telah membuat gereja menancapkan pagar diskriminasi terhadap siapa yang boleh atau tidak boleh menerima anugerah keselamatan lewat tanda sakramen! Kira-kira, dua ribu tahun yang lalu, apakah Yesus berpikir demikian juga ketika membuat ketetapan Perjamuan Kudus bersama-sama dengan murid pada waktu hampir ditangkap? Meskipun yang hadir pada saat perjamuan terakhir itu memang hanya orang-orang dewasa. ‘Wong peristiwanya juga peristiwa dramatis yang rasanya tidak mungkin diikuti juga oleh anak-anak.
Bagimanakah sesungguhnya Yesus menempatkan anak-anak? Bagian-bagian dalam Injil yang menggambarkan interaksi dan penerimaan Yesus terhadap anak di bawah ini perlu kita perhatikan.
“Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalangi-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga.” (Mat 19:14, Lukas 18:16). “…Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Mrk 10:15).
Yesus sangat tegas dan jelas mengungkapkan, bahwa syarat seseorang untuk bisa menjadi bagian dalam anugerah keselamatan Allah (KERAJAAN ALLAH) bukan kondisi-kondisi tertentu seperti harus dewasa, harus mengerti/paham, apalagi harus pandai. Orang-orang dewasa dalam gereja yang membuat pagar eksklusif kelayakan penerimaan keselamatan yang ditandai dengan Perjamuan Kudus, sesungguhnya sama dengan para murid yang mencoba menghalang-halangi anak-anak yang mendekat kepada Yesus. Sehingga Yesus perlu membuka pikiran dan nurani mereka, bahwa anugerah cinta Allah-Kerajaan Allah, yang oleh Kristus ditetapkan di antaranya dengan sakramen Perjamuan Kudus-diundangkan oleh-Nya kepada siapa saja. Justru di sini kita melihat Ia memberikan apresiasi yang khusus kepada anak-anak, sekaligus menempelak orang-orang dewasa, yakni dengan mengatakan bahwa“….justru merekalah yang empunya Kerajaan Sorga…” Ada tamparan yang sangat keras dari Yesus kepada para murid saat itu.
Pemahaman yang belum melayakkan anak-anak sebagai pihak yang juga menjadi sasaran anugerah keselamatan Allah dalam Perjamuan Kudus adalah juga terkait dengan definisi atau pemahaman akan iman. Orang dewasa sering menciptakan batasan, menurut alur pikirnya sendiri. Menafikan pikiran anak-anak. Menurut kita bahwa bentuk keber-iman-an adalah adanya pengertian-pengertian dan kepercayaan tertentu yang dimiliki. Iman memang butuh pengertian, untuk bertumbuh, tapi pasti bukan pra-syarat. Iman juga ada di dalamnya soal kepercayaan. Tapi iman juga bukan hanya soal percaya atau tidak percaya. Dengan batasan tentang iman yang mensyaratkan soal kepercayaan dan pengertian, maka anak-anak di anggap belum beriman. Alangkah sombongnya para orang dewasa !!!
Kalau kita hadir di peristiwa Yesus memberkati anak-anak, lalu bertanya kepada Yesus,
“Guru, apakah anak-anak itu sudah beriman kok dikatakan empunya Kerajaan sorga?” Apa jawaban Tuhan Yesus kira-kira? Mungkin Yesus akan menjawab: “Kalau beriman menurut pengertianmu mungkin belum…,tapi menurut pengertian mereka sudah. Dan itu cukup bagi-Ku. Dibanding kalian hai orang dewasa, merekalah yang lebih layak masuk ke Sorga…Kalau kalian tidak seperti mereka, kalian tidak dapat masuk sorga!!!”
Orang dewasa biarlah beriman bersama dengan kepercayaan dan pengertian-pengertian sendiri sebagai orang dewasa. Maka, biarlah anak-anak juga beriman dengan pengertian-pengertiannya sendiri. Masing-masing beriman dengan pengertiannya (sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri). Tingkat perkembangan psikologi yang semakin tinggi bukan otomatis tinggi pula imannya. Dalam tingkat perkembangan kejiwaan yang bagaimanapun : bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, lanjut usia, semua diundang oleh Yesus. Semua dapat duduk atau berdiri sejajar menyambut anugerah keselamatan Allah.
Sebagaimana setiap orang mendapat anugerah keselamatan dari Allah yang ditandai dengan Sakramen Baptis Kudus, maka layak dan boleh pula ia mendapat dan merasakan anugerah Allah yang dinyatakan dalam Perjamuan Kudus. Setiap orang yang sudah dibaptis, layak pula ikut Perjamuan Kudus.
E. PERJAMUAN KUDUS DAN SIASAT (PENGGEMBALAAN KHUSUS)
Telah sekian ratus tahun pula gereja melarang orang yang sedang dalam penggembalan khusus (Jawa: pamerdi) untuk ikut Perjamuan Kudus. Ketetapan itu bahkan dikukuhkan dalam undang-undang yang bernama tager-talak. Tapi pertanyaan yang harus mengusik kita adalah, “berhakkah gereja melarang seseorang untuk menerima rahmat Allah dalam Sakramen Perjamuan Kudus?” Atau dengan bahasa yang lebih dalam : “Sebagai lembaga yang punya kewibawaan rasuli, layakkah wibawa rasuli itu menentukan batasan kelayakan bagi orang untuk menerima anugerah keselamatan Allah?”
Dalam Injil Yohanes 8:1-11 diceritakan tentang ahli-ahli Hukum Taurat yang membawa seorang perempuan yang tertangkap basah sedang berzinah kepada Yesus. Dengan dalih ingin menegakkan hukum Taurat, mereka ingin mengadili perempuan itu. Yesus tahu bahwa keadilan dalam hukum Taurat bagi perempuan berzinah adalah hukum rajam. Namun Yesus mengatakan, bahwa barangsiapa merasa tidak bedosa, maka biarlah ia yang melempar paling duluan kepada perempuan itu. Rupanya tidak ada yang berani mengatakan bahwa ia tidak berdosa.
Apakah tidak demikian juga jika gereja melarang orang yang -paling kotor moralnya sekalipun- ikut Perjamuan Kudus, maka sesungguhnya gereja sama dengan ahli-ahli Taurat yang merasa sebagai penegak hukum Taurat. Seorang pakar Pastoral Amerika, Seward Hiltner mengatakan: “Jika manusia harus memenuhi syarat tertentu (layak) agar dapat diterima oleh Allah, maka manusia tak akan pernah dapat melaksanakannya.”7
Gereja memang adalah persekutuan yang harus memperjuangkan dan mendorong anggotanya bermoral dan berperilaku baik. Karena ini di antaranya adalah tanda hidup baru. Moralitas dan perilaku yang baik dan benar pula pada gilirannya akan menjadi wujud kesaksian dan pelayanan setiap orang beriman. Selaras dengan itu, gereja juga adalah ‘persekutuan yang harus menyerukan suara kenabian baik ke dalam maupun ke luar.’ Firman diberitakan agar setiap orang yang mendengarnya diteguhkan jika lemah, didorong dan dibimbing jika perlu arahan, ditopang jika akan jatuh, ditegur jika salah, diluruskan jika keliru. Sebagai pewaris tradisi Calvinis, kita tahu betapa Calvin sangat menekankan hal ini.8
Tapi, agar fair mari kita lihat apa sesungguhnya penggembalaan khusus atau siasat gerejawi atau pamerdi. Penggembalaan khusus mesti dilihat dalam kerangka utuh penggembalaan (pastoral). Ada penggembalaan yang umum dan ada yang khusus.
Penggembalaan atau pastoral dapat didefinisikan: tindakan seorang pendeta, atau pastor, atau pejabat gerejawi, baik secara pribadi maupun bersama-sama, yang mengikatkan diri dalam hubungan pertolongan atau bimbingan dengan seseorang atau sekelompok orang (Jemaat), agar dalam terang Injil dan persekutuan Gereja Kristus dapat bersama-sama menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman9.
Definisi di atas seakan-akan men-subyek-kan pendeta, pastor atau pejabat gerejawi (sebagai gembala) dan meng-obyek-kan pihak lain (jemaat). Namun sesungguhnya tidak demikian. Kata kunci dalam penggembalaan adalah ‘saling’. Yakni interaksi yang dialogis, sejajar antara pihak-pihak. Peng-identifikasi sebagai gembala (yang menggembalakan) dan yang digembalakan lebih pada penekanan tuntutan peran dan fungsi masing-masing. Para gembala (dan peran yang sejajar dengan itu: rasul, nabi, pemberita, pengajar) berperan memperlengkapi jemaat bagi pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus (band. Efesus 4:11-12).
Bentuk penggembalaan itu melalui segala aspek kehidupan gereja: berbagai bentuk pemberitaan firman, berbagai bentuk pengajaran dan pembinaan, berbagai bentuk liturgi, bentuk-bentuk kesaksian, bentuk-bentuk pelayanan, bentuk-bentuk tindakan pastoral, dll. Pastoral tersebut sifatnya umum, kepada seluruh Jemaat. Inilah penggembalaan umum.
Akan tetapi ada hal-hal khusus yang kadang terjadi dan dialami oleh anggota jemaat. Bisa pribadi, keluarga, juga kelompok orang-orang. Secara khusus pula, ada yang sifatnya menyangkut moralitas atau perilaku tidak benar yang berimbas pada “sangsi gerejawi” tidak boleh mengikuti Perjamuan Kudus. Misalnya: pencurian atau korupsi, perselingkuhan asmara, pertengkaran, pembunuhan, percideraan, fitnah, pencemaran nama baik, dll. Inilah penggembalaan khusus.
Sejelek atau sejahat apapun orang yang sedang dalam penggembalaan khusus tersebut, mereka adalah pihak yang perlu ditolong secara khusus dan perlu perhatian khusus. Maka tindakan penggembalaan pun perlu khusus pula. Apapun langkah yang ditempuh, maka pada hakikatnya adalah agar dalam terang Injil dan persekutuan Gereja Kristus, mereka secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menemukan jalan keluar bagi pergumulan dan persoalan kehidupan dan iman. Di sini kita melihat bahwa fungsi Pastoral/penggembalaan adalah menguatkan, membimbing, memperbaiki, mengarahkan kepada kebenaran Injil.
Seperti sekawanan domba yang digembalakan oleh Yesus, ada yang sakit, maka Yesus justru memberikan perhatian dan perawatan ekstra. Jika yang lain cukup minum air, maka yang sakit justru diberi minum susu agar cepat pulih. Demikian juga jika di antara kawanan itu ada yang bandel, ingin membelot, ia perlu dipecut agak keras, agar kembali ke kawanannya. Jika tetap bandel, ia perlu diikat. Namun bukan terus tidak diberi makan rumput. Karena jika dihukum dengan tidak dikasih minum dan rumpat, ia akan mati.
Seperti domba, justru dalam keringkihan orang yang sedang digembalakan secara khusus, mereka memerlukan perhatian yang ekstra. Diarahkan untuk semakin dapat menghayati berkat dan kasih Tuhan.
Lalu…….ketika mereka justru dilarang untuk merasakan anugerah berkat kasih Allah dalam Sakramen Perjamuan Kudus, bukankah sama dengan semakin menjauhkan dan menghalangi mereka dari rahmat Allah? Gereja berhak memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah. Namun gereja tidak berhak melarang dan menghukum. Kalaupun ada sangsi-sangsi kelembagaan karena seseorang sedang dalam penggembalaan khusus, wujudnya bukan dengan penghalangan untuk ikut menikmati undangan Perjamuan Tuhan. Gereja tetap harus membuka dan mengundangkan. Lain soal jika keberatan muncul karena refleksi mereka sendiri.
LITURGI PENGUCAPAN SYUKUR
A. CATATAN TEOLOGIS
Dalam PL sudah diceritakan bahwa umat Israel selalu mengadakan upacara-upacara keagamaan dan ibadah-ibadah khusus untuk memperingati suatu peristiwa khusus yang mereka alami. Ibadah bisa mengandung muatan pengucapan syukur, pengampunan dosa dan pendamaian antara manusia dengan Allah. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadah (untuk tujuan apapun) tidak pernah lepas dari kehidupan umat Israel saat itu.
Prinsipnya, ibadah yang dilakukan umat adalah “memberikan yang terbaik bagi Tuhan”. Itu sebabnya, ibadah-ibadah yang dilakukan dan disertai korban persembahan serta melantunkan mazmur-mazmur pujian merupakan unsur penting dalam ibadah sebagai peringatan akan kebesaran Allah
Sedang pemahaman tentang korban persembahan itu sendiri dalam PL melambangkan “penghormatan” dan “persekutuan”. Pada zaman pasca pembuangan, dinalar sebagai peristiwa yang mendampakkan pengakuan dosa yang lebih mendalam, sehingga pertobatan dan kesukacitaan juga merupakan ciri korban (Ezra 6:16-18; Neh. 8:9).
Unsur-unsur yang terdapat dalam liturgi pengucapan syukur (PL) adalah :
1. Korban Persembahan :
Berbagai jenis binatang dengan memperhatikan segi jenis kelaminnya (jantan lebih berharga daripada betina), umur, kematangan dan kesempurnaan (tidak bercacat). Bahkan dalam beberapa hal, segi warna juga diutamakan (merah melambangkan darah pengorbanan). Yang dihindari oleh umat Israel dan menimbulkan kontroversi saat itu adalah penghindaran dari pengorbanan anak sulung manusia dan menggantikannya dengan binatang.
2. Penuangan Minyak :
Penuangan Minyak (Kej.28:18), Anggur (Kej.35:14) dan Air (I Sam.7:6): Penggunaan unsur-unsur tersebut bertujuan untuk sedapat mungkin menggunakan adonan beragi, madu dan susu dalam mempersembahkan. Alasan yang paling masuk akal, karena bahan-bahan itu tidak awet dan mudah basi. Sedang kemenyan dianggap sebagai bentuk persembahan yang berdiri sendiri (Kel.30:7).
3. Waktu :
Peraturan yang ada meliputi, baik korban persembahan nasional maupun perorangan, peristiwa sehari-hari dan hari-hari raya. Kecuali korban persembahan umum/nasional yang bersifat musiman seperti Hari Raya Roti Tak Beragi, Hari Raya Menuai, dan Hari Raya Pondok Daun serta Paskah dan Pentakosta (Yosua 5:10-12). Sedang korban persembahan perorangan dapat dilakukan sewaktu-waktu, biasanya pada pagi atau sore hari.
Ibadah syukur dalam PB, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari ‘sakramen’, yang merupakan tanda yang kelihatan dari anugerah Allah yang tidak kelihatan. Sakramen tidak mungkin acak dan asing: “Ritus sakramen adalah aspek yang paling konservatif dari kehidupan religius suatu komunitas”. Mengulang-ulangnya berarti mengakui, menyatakan, menyelami dan mengalami suatu kebenaran yang diyakini bersama. Kebersamaan dalam drama kehidupan yang tulus menimbulkan kesadaran diri yang paling dalam.10
Maka tidak mengherankan jika dalam tradisi PB, perayaan-perayaan ibadah selalu disertai dengan sakramen, yang juga mengandung makna berbagi bersama dengan yang lain. Sekalipun itu dilakukan dalam sebuah keluarga bersama keluarga-keluarga yang lain. Istilah itu sekarang terkenal dengan sebutan ‘Bidston’
Unsur-unsur yang terdapat dalam Liturgi pengucapan syukur (PB) adalah:
1. Anamnesis : pengenangan dan peringatan akan perbuatan baik Allah.
2. Eucharistia : pengucapan syukur. Bisa diwujudkan dengan puji-pujian dan persembahan atau membagi-bagi makanan (Yesus setelah mengucapkan berkat, membagi-bagikan roti kepada semua yang hadir)-dilanjutkan dengan myspat dan tsadaqa.
3. Myspat dan Tsadaqa : keadilan dan kebenaran. Unsur ini sering dicirikan dengan makan dan minum bersama dalam sukacita bersama keluarga-keluarga dalam satu klan yang bertujuan pemulihan hidup, keadilan dan kebenaran.
4. Zerakh dan Syelamin: pengampunan dan pendamaian. Biasanya setelah unsur ini dilalui, lebih cocok bila dilanjutkan dengan upacara suka cita yang mencirikan kegembiraan dan rasa syukur (dulu umat Israel mewujudkannya dengan menari dan bergembira bersama).
5. Viaticum: “Bekal bagi mereka yang akan berangkat”. Maksudnya adalah penguatan dan persiapan untuk bersaksi sampai mati. Ibadah tidak hanya berhenti pada makan-minum dan bergembira bersama, tapi juga tidak melupakan tugas utama untuk berbagi dengan yang lain dan bersaksi baik kedalam maupun keluar komunitas.
Dalam PL sudah diceritakan bahwa umat Israel selalu mengadakan upacara-upacara keagamaan dan ibadah-ibadah khusus untuk memperingati suatu peristiwa khusus yang mereka alami. Ibadah bisa mengandung muatan pengucapan syukur, pengampunan dosa dan pendamaian antara manusia dengan Allah. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadah (untuk tujuan apapun) tidak pernah lepas dari kehidupan umat Israel saat itu.
Prinsipnya, ibadah yang dilakukan umat adalah “memberikan yang terbaik bagi Tuhan”. Itu sebabnya, ibadah-ibadah yang dilakukan dan disertai korban persembahan serta melantunkan mazmur-mazmur pujian merupakan unsur penting dalam ibadah sebagai peringatan akan kebesaran Allah
Sedang pemahaman tentang korban persembahan itu sendiri dalam PL melambangkan “penghormatan” dan “persekutuan”. Pada zaman pasca pembuangan, dinalar sebagai peristiwa yang mendampakkan pengakuan dosa yang lebih mendalam, sehingga pertobatan dan kesukacitaan juga merupakan ciri korban (Ezra 6:16-18; Neh. 8:9).
Unsur-unsur yang terdapat dalam liturgi pengucapan syukur (PL) adalah :
1. Korban Persembahan :
Berbagai jenis binatang dengan memperhatikan segi jenis kelaminnya (jantan lebih berharga daripada betina), umur, kematangan dan kesempurnaan (tidak bercacat). Bahkan dalam beberapa hal, segi warna juga diutamakan (merah melambangkan darah pengorbanan). Yang dihindari oleh umat Israel dan menimbulkan kontroversi saat itu adalah penghindaran dari pengorbanan anak sulung manusia dan menggantikannya dengan binatang.
2. Penuangan Minyak :
Penuangan Minyak (Kej.28:18), Anggur (Kej.35:14) dan Air (I Sam.7:6): Penggunaan unsur-unsur tersebut bertujuan untuk sedapat mungkin menggunakan adonan beragi, madu dan susu dalam mempersembahkan. Alasan yang paling masuk akal, karena bahan-bahan itu tidak awet dan mudah basi. Sedang kemenyan dianggap sebagai bentuk persembahan yang berdiri sendiri (Kel.30:7).
3. Waktu :
Peraturan yang ada meliputi, baik korban persembahan nasional maupun perorangan, peristiwa sehari-hari dan hari-hari raya. Kecuali korban persembahan umum/nasional yang bersifat musiman seperti Hari Raya Roti Tak Beragi, Hari Raya Menuai, dan Hari Raya Pondok Daun serta Paskah dan Pentakosta (Yosua 5:10-12). Sedang korban persembahan perorangan dapat dilakukan sewaktu-waktu, biasanya pada pagi atau sore hari.
Ibadah syukur dalam PB, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari ‘sakramen’, yang merupakan tanda yang kelihatan dari anugerah Allah yang tidak kelihatan. Sakramen tidak mungkin acak dan asing: “Ritus sakramen adalah aspek yang paling konservatif dari kehidupan religius suatu komunitas”. Mengulang-ulangnya berarti mengakui, menyatakan, menyelami dan mengalami suatu kebenaran yang diyakini bersama. Kebersamaan dalam drama kehidupan yang tulus menimbulkan kesadaran diri yang paling dalam.10
Maka tidak mengherankan jika dalam tradisi PB, perayaan-perayaan ibadah selalu disertai dengan sakramen, yang juga mengandung makna berbagi bersama dengan yang lain. Sekalipun itu dilakukan dalam sebuah keluarga bersama keluarga-keluarga yang lain. Istilah itu sekarang terkenal dengan sebutan ‘Bidston’
Unsur-unsur yang terdapat dalam Liturgi pengucapan syukur (PB) adalah:
1. Anamnesis : pengenangan dan peringatan akan perbuatan baik Allah.
2. Eucharistia : pengucapan syukur. Bisa diwujudkan dengan puji-pujian dan persembahan atau membagi-bagi makanan (Yesus setelah mengucapkan berkat, membagi-bagikan roti kepada semua yang hadir)-dilanjutkan dengan myspat dan tsadaqa.
3. Myspat dan Tsadaqa : keadilan dan kebenaran. Unsur ini sering dicirikan dengan makan dan minum bersama dalam sukacita bersama keluarga-keluarga dalam satu klan yang bertujuan pemulihan hidup, keadilan dan kebenaran.
4. Zerakh dan Syelamin: pengampunan dan pendamaian. Biasanya setelah unsur ini dilalui, lebih cocok bila dilanjutkan dengan upacara suka cita yang mencirikan kegembiraan dan rasa syukur (dulu umat Israel mewujudkannya dengan menari dan bergembira bersama).
5. Viaticum: “Bekal bagi mereka yang akan berangkat”. Maksudnya adalah penguatan dan persiapan untuk bersaksi sampai mati. Ibadah tidak hanya berhenti pada makan-minum dan bergembira bersama, tapi juga tidak melupakan tugas utama untuk berbagi dengan yang lain dan bersaksi baik kedalam maupun keluar komunitas.
B. BENTUK UMUM LITURGI PENGUCAPAN SYUKUR
1. Pembukaan : Bisa diawali dengan puji-pujian
2. Pembacaan Mazmur (bisa dengan dilantunkan atau dengan litany/perorangan): Mzr. 63:1-9; Mzr. 89: 1-16
3. Puji-pujian
4. Pengucapan syukur (baca Mazmur sesuai dengan tujuan ibadah)
5. Puji-pujian
6. Doa mohon pengampunan doa dan pendamaian (bisa disampaikan secara syafaat) atau membaca Mazmur 85:2-14
7. Anamnesis : Perenungan Firman Tuhan
8. Ekaristi : persembahan syukur (bisa dengan cara persembahan dan puji-pujian)
9. Doa-doa (sesuai tujuan)
10. Myspat dan tsadaqa: berbagi berkat dengan yang lain sebagai penghayatan akan pemulihan hidup, keadilan dan kebenaran yang telah dinyatakan Tuhan kepada manusia.
11. Viaticum: Pengutusan dan penguatan untuk bersaksi
Catatan :
Setiap unsur mengandung pujian pada sang Pencipta (Mazmur/lagu) dan sukacita yang penuh sebagai ungkapan rasa syukur (sekalipun tujuan ibadah adalah penghiburan bagi keluarga yang baru berduka). Khusus untuk yang terakhir perlu ada penjelasan teologis mengenai makna kematian dalam tradisi Kristiani dan harus dibedakan dengan tradisi /budaya lokal (mengenang yang telah mati secara terus-menerus).
2. Pembacaan Mazmur (bisa dengan dilantunkan atau dengan litany/perorangan): Mzr. 63:1-9; Mzr. 89: 1-16
3. Puji-pujian
4. Pengucapan syukur (baca Mazmur sesuai dengan tujuan ibadah)
5. Puji-pujian
6. Doa mohon pengampunan doa dan pendamaian (bisa disampaikan secara syafaat) atau membaca Mazmur 85:2-14
7. Anamnesis : Perenungan Firman Tuhan
8. Ekaristi : persembahan syukur (bisa dengan cara persembahan dan puji-pujian)
9. Doa-doa (sesuai tujuan)
10. Myspat dan tsadaqa: berbagi berkat dengan yang lain sebagai penghayatan akan pemulihan hidup, keadilan dan kebenaran yang telah dinyatakan Tuhan kepada manusia.
11. Viaticum: Pengutusan dan penguatan untuk bersaksi
Catatan :
Setiap unsur mengandung pujian pada sang Pencipta (Mazmur/lagu) dan sukacita yang penuh sebagai ungkapan rasa syukur (sekalipun tujuan ibadah adalah penghiburan bagi keluarga yang baru berduka). Khusus untuk yang terakhir perlu ada penjelasan teologis mengenai makna kematian dalam tradisi Kristiani dan harus dibedakan dengan tradisi /budaya lokal (mengenang yang telah mati secara terus-menerus).
SIMBOL-SIMBOL GEREJAWI DALAM LITURGI1
TOGA, BEF, CLERGICAL COLLAR & STOLLA
Kebanyakan
gereja-gereja Kristen di Indonesia mengenal semacam Pakaian Jabatan,
yang mereka ambil-alih dari Gereja-gereja partner mereka di Barat.
Bentuknya hampir sama semacam toga (= gaun) hitam, yang dipakai dengan
“bef” (dasi putih) dan dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar
dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Tetapi dalam praktik
Gereja-gereja ini, secara sadar atau tidak sadar menganggapnya sebagai
Pakaian Jabatan atau Pakaian Liturgis resmi. Oleh karenanya, setiap
orang yang memangku jabatan gerejawi harus memakai pakaian jabatannya
pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya
berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken yang umumnya dianggap
“kurang setara” dengan Pendeta dibebaskan dari kewajiban di atas.
Pakaian Jabatan ini telah lazim dalam Gereja-gereja Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi sebagai barang/tradisi asing diimpor dari Barat. Namun demikian, pada beberapa dasawarsa terakhir ini ada gereja, antara lain GPIB, yang tidak puas lagi dengan bentuk pakaian jabatan ini dan hendak menggantikannya dengan bentuk lain. Sayangnya, ketidakpuasan para pemimpin gerejawi di GPIB ini lebih banyak disebabkan alasan-alasan kultural dan bukan alasan teologis. Dengan sosialisasi/lokakarya ini, GKSBS ingin meninjau masalah ini dari sudut pandang teologis yang nantinya bermuara pada pengambilan keputusan sekaligus pendirian GKSBS dalam soal ini.
A. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan
Jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan. Pelayanan-pelayanan khusus pada waktu itu memakai pakaian-pakaian biasa, seperti yang dipakai oleh anggota jemaat awam, yaitu pakaian Yahudi, pakaian Romawi dan pakaian Yunani.
Pada tahun 380 agama Kristen resmi menjadi Agama Negara. Kaisar Theodosius mengangkat para Klerus (Pejabat Gerejawi pada saat itu) setara dengan Pejabat Pemerintahan. Mereka mendapat fasilitas istana, pakaian jabatan, tongkat, cincin dan tanda kebesaran lain. Dalam ibadah, mereka memakai pakaian khusus (= pakaian liturgis), yang berbeda dengan pakaian anggota jemaat yang lain. Pakaian khusus ini kemudian berkembang menjadi Pakaian Jabatan Gerejawi yang indah dan mewah, seperti yang masih dipakai sampai sekarang oleh para Klerus dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Yunani.
Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih mewah daripada yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai “pakaian liturgis” daripada Imam Gereja Katolik. Semuanya tidak dapat dibahas di sini. Sebagai contoh, Pakaian Jabatan dalam Gereja Katolik terdiri dari “amictus” (= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan pada dada, di atas gaun-missa yang sebenarnya), “alba” (= kemeja dari lenan, panjangnya sampai di kaki), “stola” (= pita lebar yang dipakai di atas alba, panjangnya sampai ke lutut), “manipulus” (= pita sutera, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri), “pluviale” (= gaun prosesi gerejawi, dahulu hanya dipakai oleh para Klerus rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan “vesti sacerdotalis” (= gaun missa yang sebenarnya)/toga.
B. Para Reformator menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini
Para Reformator (Luther dan Zwingli) menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini, karena ia berhubungan erat dengan missa Gereja Katolik. Menurut mereka, Pakaian Jabatan an sich (pada dirinya sendiri tidak memiliki arti.
Sesuai dengan itu, Martin Luther (pada tahun 1524) menasihatkan supaya pejabat-pejabat gerejawi menjauhkan diri dari pakaian-pakaian indah dan mewah dan supaya mereka jangan menganggap pakaian yang mereka pakai lebih suci dari pada pakaian biasa yang lain. Luther berkata, bahwa Tuhan tidak lebih berkenan kepada Pejabat Gerejawi yang berpakaian jabatan daripada Pejabat Gerejawi yang tidak memakai pakaian jabatan.
Sikap Luther dan pemimpin-peminpin yang lain pada masa itu tentang pakaian jabatan tidak begitu radikal. Sampai dengan tahun 1536 pelayanan Perjamuan Kudus tetap dilaksanakan dengan mengenakan Pakaian Jabatan ala Katolik. Tetapi Luther beranggapan, bahwa “lelucon yang suci” itu lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya.
Pada tahun 1523, ketika Martin Luther berkotbah di Wittenberg, ia memakai gaun doktornya (Toga Hitam), yang akhirnya lembat laun menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis dan Swiss. Bahkan di Nederland, Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian Jabatan Gereja Katolik dengan Toga hitam yang disebut Tabberd.
Akhirnya, pada pertengahan abad ke-17 penggunaan Pakaian Jabatan dalam Gereja Protestan telah habis sama sekali. Tetapi masalah baru timbul tatkala disadari banyak keluhan yang muncul terhadap pakaian yang dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan yang mengikuti pergantian mode pakaian dan memakai rupa-rupa variasi dari gaun (rok) dan leher baju Perancis. Mereka memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta yang memakai pakaian parlente (gagah) dan lebih “duniawi” dan “gila mode” daripada anggota jemaat biasa. Hal inilah yang kemudian mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan Pakaian Jabatan Resmi bagi para Pendetanya.
Dari Nederland, tabberd atau toga ini diexpor ke Indonesia. Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending lain dari Jerman, Swiss dan Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia telah mempunyai semacam Pakaian Jabatan, yaitu toga hitam.
C. Pakaian Jabatan : Suatu Tinjauan Kritis-Teologis
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut beragam. Pada abad pertengahan, pengunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada waktu itu masing-masing golongan mempunyai pakaian khasnya sendiri-sendiri. Para perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa berbeda pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai pakaian khas. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Apabila kemudian ada toga sebagai Pakaian Jabatan bagi Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian itulah yang paling tepat pada masa itu sebagai pembeda dengan golongan-golongan yang ada pada masa itu. Maka dalam lukisan para reformator dan pengkotbah pada masa itu, mengenakan toga.
Setelah toga dikhususkan bagi Sarjana dan Magistrant, maka toga Pendeta digantikan dengan pakaian lain, yaitu rok, bef, mantel, celana pendek dengan gesper. Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian. Tetapi kemudian, pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh para Pendeta.
Menururt Faber, persoalan Pakaian Jabatan kurang ditinjau dari sudut pandang Teologis. Menurutnya, Pakaian Jabatan tidak memiliki kuasa penyelamatan. Tetapi, penyia-penyiaan Pakaian Jabatan dapat bersumber pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang seharusnya diselidiki. Menurut Faber, reformasi Martin Luther tidak meniadakan Pakaian Jabatan, ia memberikan kebebasan penuh bagi pengikutnya dan Gereja untuk menentukan sikapnya terhadap Pakaian Jabatan.
Menurut Faber, pakaian bahkan tiap-tiap pakaian memiliki bahasanya sendiri. Itulah rahasia mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam hati seseorang dapat kita ketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia saja yang memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga, pakaian memiliki pengaruh sugestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini atas jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih mempunyai “jabatan”, tidak dapat membebaskan dirinya dari Pakaian Jabatan. Dari sinilah Calvin merekomendasikan warna hitam untuk toga. Tetapi tepatkah warna hitam untuk Pakaian Jabatan Gerejawi?
D. Pakaian Jabatan : Apa Warna Yang Paling Teologis?
Benarkah secara teologis, Pakaian Jabatan berwarna hitam? Bukankah warna hitam menyebabkan Perayaan Perjamuan Kudus sering kali bergeser; tidak lagi dihayati sebagai sebuah perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan duka? Bukankah warna ini ikut menggeser dasar pengajaran Gereja, bahwa kematian Kristus harus disambut bukan dengan kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan? Apakah Toga hitam cukup menginsafkan Gereja-gereja kita akan sifatnya yang rohani? Tentu tidak. Warna hitam saja telah membuat kita agak takut. Lain dari pada itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana dan Magistrat. Ia adalah pakaian akademis yang telah masuk ke dalam gereja, karena ia dianggap gagah. Toga hitam yang adalah pakaian hakim telah menyebabkan ibadah Minggu terkesan sebagai ruang pengadilan, dan bukannya ruang persekutuan hangat satu keluarga, yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang Maha Pengampun.
Dengan demikian, warna hitam tidak cocok untuk Pakaian Jabatan. Memang kotbah adalah uraian ilmiah (akademis-ilmiah) tapi paling maksimal ia hanya dapat dipertahankan untuk pemberitaan Firman. Tidak cocok untuk pelayanan Sakramen. Warnanya yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka warnanya harus diganti dengan warna lain. Misalnya putih, merah muda atau ungu.
E. Pakaian Jabatan : Bagaimana dengan Penatua dan Diaken?
Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Jabatan bagi Pendeta, Penatua dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak boleh berbeda. Jika tidak demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja: Pendeta dengan toga lengkap, Penatua dengan toga setangah lengkap dan Diaken dengan toga seperempat lengkap. Karena itu, perlu dibuatkan juga pakaian jabatan untuk Penatua dan Diaken.
SAKRAMEN
Skramen adalah tanda kelihatan yang menunjukkan anugerah yang tidak kelihatan. Karya Yesus Kristus-lah yang dilambangkan dalam sakramen itu. Dalam hidup, kematian dan kebangkitan-Nyalah menjadi nyata bagi umat manusia akan anugerah dan keselamatan bersumber pada Allah. Sakramen adalah suatu tanda lahiriah (Symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji dan kasihnya kepada kita. Sakramen adalah tanda lahiriah realitas rahmat Allah yang kita sambut. Meskipun Firman Allah sudah cukup jelas dan pasti, akan tetapi iman kita sering terombang-ambing dan mudah goyah, maka kerahimanNya yang tidak bertepi menyesuaikan diri dengan daya paham kita sehingga Ia tidak berkeberatan bila kita menggunakan simbol yang memakai unsur bendawi, yang membawa kita kepada kedalaman cintaNya yang misteri.
Sakramen dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya jika ada guru batin, yaitu Roh Kudus. Hanya karena kekuatan Roh Kudus itulah hati kita tertembus serta perasaan kita tergerak dan melalui sakramen terbukalah pintu jiwa kita.
A. BAPTISAN KUDUS
Orang yang akan menerima baptisan tidak harus memahami sungguh-sungguh arti baptisan yang diterimanya. Sebab bukan iman dan pengertian kita yang mendalam tentang baptisan yang membuat baptisan efektif, melainkan janji Allah. Baptisan adalah tanda ditetapkan Allah untuk memateraikan janjiNya.
Baptisan membawa seseorang untuk masuk ke dalam kesatuan dengan Kristus. Dengan baptisan inilah kita dipersatukan dengan keseluruhan Tubuh Kristus. Oleh karenanya, dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang dibaptis, maka ia boleh ikut Perjamuan Kudus. Baik ia masih kecil atau sudah dewasa secara umur. Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah tak terpisahkan. Mulai abad ke-4, ritus baptisan dianggap sebagai eksorsisme dilanjutkan dengan peminyakan, penumpangan tangan dan kemudian Perjamuan Kudus. Tetapi sebelum itu, seseorang yang sudah dibaptis boleh mengikuti Perjamuan Kudus.
Baptisan merupakan tanda dan bukti pembersihan dosa kita, baptisan seumpama pemberian surat bermaterai yang menegaskan kepada kita bahwa segala dosa kita sudah dihapus dan ditiadakan sedemikian rupa hingga tidak bakal muncul lagi dihadapanNya.
Air baptisan melambangkan kubur dan rahim. Hidup lama telah berlalu (mati) dan hidup baru dimuliakan (lahir). Dengan kata lain, lahir baru atau hidup baru.
B. PERJAMUAN KUDUS
Secara teologis, seseorang yang sudah dibaptis layak dan boleh ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Anak-anak yang sudah layak dibaptis, (karena orang tuanya mampu melihat janji Allah dengan mata imannya) adalah anak-anak yang sudah layak ikut Perjamuan Kudus.
Perayaan iman Kristen dimulai dari peristiwa Paskah. Yesus bangkit dari kematian dan mengalahkannya. Gereja tidak hanya dipanggil untuk memberitakan kebangkitan Kristus kepada dunia tapi juga menghadirkan kembali peristiwa keselamatan itu hingga menjadi aktual di sini dan kini. Hal itu diwujudkannyatakan dalam perayaan Perjamuan Kudus. Yesus merelakan tubuh dan darahNya untuk keselamatan manusia.
Makna Perjamuan Kudus adalah: (1) Tindakan berbagi satu persekutuan. Di dalam Perjamuan Kudus, persekutuan yang erat diaktualisasikan, baik persekutuan sebagai sesama Tubuh Kristus maupun persekutuan Tubuh (jemaat) dengan kepalaNya (yaitu Kristus Tuhan). Menurut Calvin; makan secara jasmani dalam Perjamuan Kudus menunjukan makan secara rohani untuk penguatan jiwa karena dipersatukan dengan Kristus. Kita betul-betul menjadi satu dengan tubuh dan darahNya. (2) Perjamuan Kudus adalah perayaan-pengingatan (anamnesis) kabar keselamatan bukan hanya diproklamirkan tetapi sungguh menjadi nyata. Apa yang dialami para murid pada malam Perjamuan Terakhir itu kita hadirkan kembali di sini dan kini. Apa yang diharapkan para murid dulu dan di sana, sekarang kita harapkan lagi kini dan di sini. (3) Perjamuan Kudus juga adalah suatu eschaton yaitu suatu pengharapan bahwa Perjamuan Kudus itu akan dilanjutkan dalam Perjamuan dengan Tuhan di KerajaanNya yang kekal.
KAIN-KAIN WARNA LITURGIS
Warna-warna gerejawi telah lama digunakan dalam ruang ibadah kita, terutama untuk taplak meja, kain di mimbar (antependium), kain panjang di kayu salib (stolla besar) dan stolla yang dikenakan Pelayanan Gerejawi. Gereja memakai kain dalam warna-warna yang bergantian sesuai kalender gerejawi.
1. Putih
Adalah lambang dari warna terang, cahaya lilin, warna bagi peran malaikat Allah, para kudus dan warna bagi Kristus yang dimuliakan. Warna yang melambangkan kekudusan dan kebersihan. Oleh sebab itu warna ini digunakan dalam masa raya yang berkenaan dengan Kristus, misalnya Natal, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus, dan masa raya kesukaan misalnya dalam pelayanan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Digunakan juga dari masa Natal sampai Minggu sebelum Epifania (6 Januari) dan hari raya Paskah hingga sebelum minggu Pentakosta.
2. Ungu (lebih tepatnya violet)
Adalah warna tergelap dalam warna gerejawi yang menunjukan penyesalan dan pertobatan yang sunggu-sungguh. Digunakan pada masa 40 hari sebelum Paskah (Minggu sengsara) dan masa-masa menjelang Natal (Minggu Adventus).
3. Merah
Adalah warna api. Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan. Maka digunakan pada Perayaan Pentakosta. Warna merah juga melambangkan warna darah, kesetiaan sampai mati, iman yang berapi-api sehingga digunakan dalam peringatan Reformasi, penahbisan rumah ibadah, sidhi, peneguhan Pendeta, Diaken dan Penatua. Juga pada peringatan hari Pekabaran Injjil, pengutusan pengijil dan hari-hari raya ekumenis.
4. Hijau
Adalah warna komplemen dari merah. Melambangkan penyembuhan, ketenangan dan pertumbuhan iamn. Merupakan warna pengharapan. Hijau memberitakan kemurahan hati, keselamatan dari Allah yang menyembuhkan dan memperbaharui. Digunakan pada hari Minggu Trinitas (Minggu pertama sesudah Pentakosta, kecuali masa sengsara, adventus, dan hari raya Kristen lainnya.
5. Merah Muda
Rose, adalah perlemahan dari violet (ungu tua), lambang penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya, sengsara boleh sementara waktu digantikan dengan senyuman dalam menyongsong Natal dan Paskah. Digunakan pada Minggu adventus ke-3 dan Minggu sengsara ke-5.
6. Hitam
Adalah warna liturgis yang paling kuno. Lambang keputusasaan. Warna ini sudah tidak dipakai lagi. Perlu juga dipertanyakan tentang warna liturgis yang dikenakan Pendeta yaitu Toga hitam. Pemberitaan firman adalah pemberitaan Kristus yang telah menang, sudah selayaknya mereka dibebaskan dari warna kedukaan. Bahkan dalam pelayanan duka (misalnya pelayanan pemakaman jenazah) sekalipun, sebenarnya warna violet lebih baik daripada hitam, karena kita sudah diperbolehkan hidup dalam kemenangan Kristus.
Pakaian Jabatan ini telah lazim dalam Gereja-gereja Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi sebagai barang/tradisi asing diimpor dari Barat. Namun demikian, pada beberapa dasawarsa terakhir ini ada gereja, antara lain GPIB, yang tidak puas lagi dengan bentuk pakaian jabatan ini dan hendak menggantikannya dengan bentuk lain. Sayangnya, ketidakpuasan para pemimpin gerejawi di GPIB ini lebih banyak disebabkan alasan-alasan kultural dan bukan alasan teologis. Dengan sosialisasi/lokakarya ini, GKSBS ingin meninjau masalah ini dari sudut pandang teologis yang nantinya bermuara pada pengambilan keputusan sekaligus pendirian GKSBS dalam soal ini.
A. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan
Jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan. Pelayanan-pelayanan khusus pada waktu itu memakai pakaian-pakaian biasa, seperti yang dipakai oleh anggota jemaat awam, yaitu pakaian Yahudi, pakaian Romawi dan pakaian Yunani.
Pada tahun 380 agama Kristen resmi menjadi Agama Negara. Kaisar Theodosius mengangkat para Klerus (Pejabat Gerejawi pada saat itu) setara dengan Pejabat Pemerintahan. Mereka mendapat fasilitas istana, pakaian jabatan, tongkat, cincin dan tanda kebesaran lain. Dalam ibadah, mereka memakai pakaian khusus (= pakaian liturgis), yang berbeda dengan pakaian anggota jemaat yang lain. Pakaian khusus ini kemudian berkembang menjadi Pakaian Jabatan Gerejawi yang indah dan mewah, seperti yang masih dipakai sampai sekarang oleh para Klerus dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Yunani.
Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih mewah daripada yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai “pakaian liturgis” daripada Imam Gereja Katolik. Semuanya tidak dapat dibahas di sini. Sebagai contoh, Pakaian Jabatan dalam Gereja Katolik terdiri dari “amictus” (= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan pada dada, di atas gaun-missa yang sebenarnya), “alba” (= kemeja dari lenan, panjangnya sampai di kaki), “stola” (= pita lebar yang dipakai di atas alba, panjangnya sampai ke lutut), “manipulus” (= pita sutera, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri), “pluviale” (= gaun prosesi gerejawi, dahulu hanya dipakai oleh para Klerus rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan “vesti sacerdotalis” (= gaun missa yang sebenarnya)/toga.
B. Para Reformator menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini
Para Reformator (Luther dan Zwingli) menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini, karena ia berhubungan erat dengan missa Gereja Katolik. Menurut mereka, Pakaian Jabatan an sich (pada dirinya sendiri tidak memiliki arti.
Sesuai dengan itu, Martin Luther (pada tahun 1524) menasihatkan supaya pejabat-pejabat gerejawi menjauhkan diri dari pakaian-pakaian indah dan mewah dan supaya mereka jangan menganggap pakaian yang mereka pakai lebih suci dari pada pakaian biasa yang lain. Luther berkata, bahwa Tuhan tidak lebih berkenan kepada Pejabat Gerejawi yang berpakaian jabatan daripada Pejabat Gerejawi yang tidak memakai pakaian jabatan.
Sikap Luther dan pemimpin-peminpin yang lain pada masa itu tentang pakaian jabatan tidak begitu radikal. Sampai dengan tahun 1536 pelayanan Perjamuan Kudus tetap dilaksanakan dengan mengenakan Pakaian Jabatan ala Katolik. Tetapi Luther beranggapan, bahwa “lelucon yang suci” itu lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya.
Pada tahun 1523, ketika Martin Luther berkotbah di Wittenberg, ia memakai gaun doktornya (Toga Hitam), yang akhirnya lembat laun menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis dan Swiss. Bahkan di Nederland, Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian Jabatan Gereja Katolik dengan Toga hitam yang disebut Tabberd.
Akhirnya, pada pertengahan abad ke-17 penggunaan Pakaian Jabatan dalam Gereja Protestan telah habis sama sekali. Tetapi masalah baru timbul tatkala disadari banyak keluhan yang muncul terhadap pakaian yang dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan yang mengikuti pergantian mode pakaian dan memakai rupa-rupa variasi dari gaun (rok) dan leher baju Perancis. Mereka memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta yang memakai pakaian parlente (gagah) dan lebih “duniawi” dan “gila mode” daripada anggota jemaat biasa. Hal inilah yang kemudian mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan Pakaian Jabatan Resmi bagi para Pendetanya.
Dari Nederland, tabberd atau toga ini diexpor ke Indonesia. Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending lain dari Jerman, Swiss dan Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia telah mempunyai semacam Pakaian Jabatan, yaitu toga hitam.
C. Pakaian Jabatan : Suatu Tinjauan Kritis-Teologis
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut beragam. Pada abad pertengahan, pengunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada waktu itu masing-masing golongan mempunyai pakaian khasnya sendiri-sendiri. Para perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa berbeda pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai pakaian khas. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Apabila kemudian ada toga sebagai Pakaian Jabatan bagi Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian itulah yang paling tepat pada masa itu sebagai pembeda dengan golongan-golongan yang ada pada masa itu. Maka dalam lukisan para reformator dan pengkotbah pada masa itu, mengenakan toga.
Setelah toga dikhususkan bagi Sarjana dan Magistrant, maka toga Pendeta digantikan dengan pakaian lain, yaitu rok, bef, mantel, celana pendek dengan gesper. Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian. Tetapi kemudian, pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh para Pendeta.
Menururt Faber, persoalan Pakaian Jabatan kurang ditinjau dari sudut pandang Teologis. Menurutnya, Pakaian Jabatan tidak memiliki kuasa penyelamatan. Tetapi, penyia-penyiaan Pakaian Jabatan dapat bersumber pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang seharusnya diselidiki. Menurut Faber, reformasi Martin Luther tidak meniadakan Pakaian Jabatan, ia memberikan kebebasan penuh bagi pengikutnya dan Gereja untuk menentukan sikapnya terhadap Pakaian Jabatan.
Menurut Faber, pakaian bahkan tiap-tiap pakaian memiliki bahasanya sendiri. Itulah rahasia mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam hati seseorang dapat kita ketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia saja yang memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga, pakaian memiliki pengaruh sugestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini atas jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih mempunyai “jabatan”, tidak dapat membebaskan dirinya dari Pakaian Jabatan. Dari sinilah Calvin merekomendasikan warna hitam untuk toga. Tetapi tepatkah warna hitam untuk Pakaian Jabatan Gerejawi?
D. Pakaian Jabatan : Apa Warna Yang Paling Teologis?
Benarkah secara teologis, Pakaian Jabatan berwarna hitam? Bukankah warna hitam menyebabkan Perayaan Perjamuan Kudus sering kali bergeser; tidak lagi dihayati sebagai sebuah perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan duka? Bukankah warna ini ikut menggeser dasar pengajaran Gereja, bahwa kematian Kristus harus disambut bukan dengan kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan? Apakah Toga hitam cukup menginsafkan Gereja-gereja kita akan sifatnya yang rohani? Tentu tidak. Warna hitam saja telah membuat kita agak takut. Lain dari pada itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana dan Magistrat. Ia adalah pakaian akademis yang telah masuk ke dalam gereja, karena ia dianggap gagah. Toga hitam yang adalah pakaian hakim telah menyebabkan ibadah Minggu terkesan sebagai ruang pengadilan, dan bukannya ruang persekutuan hangat satu keluarga, yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang Maha Pengampun.
Dengan demikian, warna hitam tidak cocok untuk Pakaian Jabatan. Memang kotbah adalah uraian ilmiah (akademis-ilmiah) tapi paling maksimal ia hanya dapat dipertahankan untuk pemberitaan Firman. Tidak cocok untuk pelayanan Sakramen. Warnanya yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka warnanya harus diganti dengan warna lain. Misalnya putih, merah muda atau ungu.
E. Pakaian Jabatan : Bagaimana dengan Penatua dan Diaken?
Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Jabatan bagi Pendeta, Penatua dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak boleh berbeda. Jika tidak demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja: Pendeta dengan toga lengkap, Penatua dengan toga setangah lengkap dan Diaken dengan toga seperempat lengkap. Karena itu, perlu dibuatkan juga pakaian jabatan untuk Penatua dan Diaken.
SAKRAMEN
Skramen adalah tanda kelihatan yang menunjukkan anugerah yang tidak kelihatan. Karya Yesus Kristus-lah yang dilambangkan dalam sakramen itu. Dalam hidup, kematian dan kebangkitan-Nyalah menjadi nyata bagi umat manusia akan anugerah dan keselamatan bersumber pada Allah. Sakramen adalah suatu tanda lahiriah (Symbolum) yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji dan kasihnya kepada kita. Sakramen adalah tanda lahiriah realitas rahmat Allah yang kita sambut. Meskipun Firman Allah sudah cukup jelas dan pasti, akan tetapi iman kita sering terombang-ambing dan mudah goyah, maka kerahimanNya yang tidak bertepi menyesuaikan diri dengan daya paham kita sehingga Ia tidak berkeberatan bila kita menggunakan simbol yang memakai unsur bendawi, yang membawa kita kepada kedalaman cintaNya yang misteri.
Sakramen dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya jika ada guru batin, yaitu Roh Kudus. Hanya karena kekuatan Roh Kudus itulah hati kita tertembus serta perasaan kita tergerak dan melalui sakramen terbukalah pintu jiwa kita.
A. BAPTISAN KUDUS
Orang yang akan menerima baptisan tidak harus memahami sungguh-sungguh arti baptisan yang diterimanya. Sebab bukan iman dan pengertian kita yang mendalam tentang baptisan yang membuat baptisan efektif, melainkan janji Allah. Baptisan adalah tanda ditetapkan Allah untuk memateraikan janjiNya.
Baptisan membawa seseorang untuk masuk ke dalam kesatuan dengan Kristus. Dengan baptisan inilah kita dipersatukan dengan keseluruhan Tubuh Kristus. Oleh karenanya, dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang dibaptis, maka ia boleh ikut Perjamuan Kudus. Baik ia masih kecil atau sudah dewasa secara umur. Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah tak terpisahkan. Mulai abad ke-4, ritus baptisan dianggap sebagai eksorsisme dilanjutkan dengan peminyakan, penumpangan tangan dan kemudian Perjamuan Kudus. Tetapi sebelum itu, seseorang yang sudah dibaptis boleh mengikuti Perjamuan Kudus.
Baptisan merupakan tanda dan bukti pembersihan dosa kita, baptisan seumpama pemberian surat bermaterai yang menegaskan kepada kita bahwa segala dosa kita sudah dihapus dan ditiadakan sedemikian rupa hingga tidak bakal muncul lagi dihadapanNya.
Air baptisan melambangkan kubur dan rahim. Hidup lama telah berlalu (mati) dan hidup baru dimuliakan (lahir). Dengan kata lain, lahir baru atau hidup baru.
B. PERJAMUAN KUDUS
Secara teologis, seseorang yang sudah dibaptis layak dan boleh ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Anak-anak yang sudah layak dibaptis, (karena orang tuanya mampu melihat janji Allah dengan mata imannya) adalah anak-anak yang sudah layak ikut Perjamuan Kudus.
Perayaan iman Kristen dimulai dari peristiwa Paskah. Yesus bangkit dari kematian dan mengalahkannya. Gereja tidak hanya dipanggil untuk memberitakan kebangkitan Kristus kepada dunia tapi juga menghadirkan kembali peristiwa keselamatan itu hingga menjadi aktual di sini dan kini. Hal itu diwujudkannyatakan dalam perayaan Perjamuan Kudus. Yesus merelakan tubuh dan darahNya untuk keselamatan manusia.
Makna Perjamuan Kudus adalah: (1) Tindakan berbagi satu persekutuan. Di dalam Perjamuan Kudus, persekutuan yang erat diaktualisasikan, baik persekutuan sebagai sesama Tubuh Kristus maupun persekutuan Tubuh (jemaat) dengan kepalaNya (yaitu Kristus Tuhan). Menurut Calvin; makan secara jasmani dalam Perjamuan Kudus menunjukan makan secara rohani untuk penguatan jiwa karena dipersatukan dengan Kristus. Kita betul-betul menjadi satu dengan tubuh dan darahNya. (2) Perjamuan Kudus adalah perayaan-pengingatan (anamnesis) kabar keselamatan bukan hanya diproklamirkan tetapi sungguh menjadi nyata. Apa yang dialami para murid pada malam Perjamuan Terakhir itu kita hadirkan kembali di sini dan kini. Apa yang diharapkan para murid dulu dan di sana, sekarang kita harapkan lagi kini dan di sini. (3) Perjamuan Kudus juga adalah suatu eschaton yaitu suatu pengharapan bahwa Perjamuan Kudus itu akan dilanjutkan dalam Perjamuan dengan Tuhan di KerajaanNya yang kekal.
KAIN-KAIN WARNA LITURGIS
Warna-warna gerejawi telah lama digunakan dalam ruang ibadah kita, terutama untuk taplak meja, kain di mimbar (antependium), kain panjang di kayu salib (stolla besar) dan stolla yang dikenakan Pelayanan Gerejawi. Gereja memakai kain dalam warna-warna yang bergantian sesuai kalender gerejawi.
1. Putih
Adalah lambang dari warna terang, cahaya lilin, warna bagi peran malaikat Allah, para kudus dan warna bagi Kristus yang dimuliakan. Warna yang melambangkan kekudusan dan kebersihan. Oleh sebab itu warna ini digunakan dalam masa raya yang berkenaan dengan Kristus, misalnya Natal, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus, dan masa raya kesukaan misalnya dalam pelayanan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Digunakan juga dari masa Natal sampai Minggu sebelum Epifania (6 Januari) dan hari raya Paskah hingga sebelum minggu Pentakosta.
2. Ungu (lebih tepatnya violet)
Adalah warna tergelap dalam warna gerejawi yang menunjukan penyesalan dan pertobatan yang sunggu-sungguh. Digunakan pada masa 40 hari sebelum Paskah (Minggu sengsara) dan masa-masa menjelang Natal (Minggu Adventus).
3. Merah
Adalah warna api. Lambang Roh Kudus yang penuh kekuatan. Maka digunakan pada Perayaan Pentakosta. Warna merah juga melambangkan warna darah, kesetiaan sampai mati, iman yang berapi-api sehingga digunakan dalam peringatan Reformasi, penahbisan rumah ibadah, sidhi, peneguhan Pendeta, Diaken dan Penatua. Juga pada peringatan hari Pekabaran Injjil, pengutusan pengijil dan hari-hari raya ekumenis.
4. Hijau
Adalah warna komplemen dari merah. Melambangkan penyembuhan, ketenangan dan pertumbuhan iamn. Merupakan warna pengharapan. Hijau memberitakan kemurahan hati, keselamatan dari Allah yang menyembuhkan dan memperbaharui. Digunakan pada hari Minggu Trinitas (Minggu pertama sesudah Pentakosta, kecuali masa sengsara, adventus, dan hari raya Kristen lainnya.
5. Merah Muda
Rose, adalah perlemahan dari violet (ungu tua), lambang penyesalan dan pertobatan yang tertahan. Maksudnya, sengsara boleh sementara waktu digantikan dengan senyuman dalam menyongsong Natal dan Paskah. Digunakan pada Minggu adventus ke-3 dan Minggu sengsara ke-5.
6. Hitam
Adalah warna liturgis yang paling kuno. Lambang keputusasaan. Warna ini sudah tidak dipakai lagi. Perlu juga dipertanyakan tentang warna liturgis yang dikenakan Pendeta yaitu Toga hitam. Pemberitaan firman adalah pemberitaan Kristus yang telah menang, sudah selayaknya mereka dibebaskan dari warna kedukaan. Bahkan dalam pelayanan duka (misalnya pelayanan pemakaman jenazah) sekalipun, sebenarnya warna violet lebih baik daripada hitam, karena kita sudah diperbolehkan hidup dalam kemenangan Kristus.
SIMBOL-SIMBOL DALAM PELAYANAN NIKAH
Pernikahan adalah perkara sosiologis dan sekaligus teologis. Sahnya pernikahan bukanlah ketika mereka mengikrarkannya dalam ibadah, melainkan ketika kedua mempelai mengikrarkannya di hadapan orang tua, para saksi, Majelis Gereja dan Pendeta (biasanya dilaksanakan di Konstituri).
Dalam pelayanan Nikah, terdapat beberapa symbol yang digunakan. Simbol ini digunakan untuk menerangkan arti khusus sbb:
a. Simbol berjabat tangan dalam pengucapan janji nikah.
Melambangkan kesungguhan, komitmen dari sepasang kekasih untuk hidup bersama dengan kesetiaan.
b. Cincin Pernikahan
Adalah symbol pemberian cinta murni yang tidak berkarat yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya dan dari seorang istri kepada suaminya. Lingkaran cincin yang tidak memiliki akhir adalah lambang cinta cusi tersebut tidak memiliki arti dan berlaku sepanjang hayat.
c. Peneguhan Nikah dan Berkat dalam Pernikahan
Peneguhan dan bukan pengesahan nikah, dilayankan Gereja karena di Gerejalah tempat Allah menyalurkan berkatNya. Gereja dalah tempat di mana berkat Tuhan disalurkan. Gereja tidak menikahkan, tetapi meneguhkan pernikahan dengan berkat Allah yang disalurkan oleh Gereja. Pada prinsipnya, peneguhan nikah bukan dilakukan oleh manusia tetapi nikah diteguhkan oleh berkat yang tersedia di Gereja. Pernikahan di luar Gereja adalah sah, tapi tidak mendapatkan berkat Allah, akrena Allah menyampaikan berkatNya melalui pelayanan Gereja.
d. Pemberian Alkitab
Adalah symbol pentingnya Kitab Suci dalam hidup berumah tangga. Kitab Suci menjadi terang dan pelita bagi perjalanan hidup berumah tangga.
e. Pemberian Kain dan Beras
Kain dan beras adalah lambang pemberian berkat Allah secara jasmani.
f. Sungkeman
Adalah lambang penghormatan, ucapan terima kasih dan sekaligus berpamitnya kedua mempelai kepada orang tua mereka, untuk memulai hidup berkeluarga yang mandiri. Mereka telah membentuk keluarga baru.
Catatan kaki :
1 Calvin, Edisi terkutip, LITURGI GKSBS, Hasil seminar dan lokakarya tim Liturgi GKSBS. Hasil tersebut diterima dalam sinode VII GKSBS di Blitang.
2 James White, A BRIEF HISTORY OF CHRISTIAN WORSHIP, Nashille, Abingdon Press, 1993, p.49
3 Bandingkan II Korintus 5:17, Efesus 2:15, Efesus 4:24 dan ayat-ayat sejenis.
4 Oleh orang banyak, pendeta atau guru katekisasi Jawa, sering dihubungkan dengan purnomo sidi.
5 Yang sering jadi alasan mengapa hanya yang sudah sidi yang boleh ikut perjamuan kudus adalah: (1). Soal pengertian. Anak-anak tidak ikut Perjamuan Kudus karena dianggap belum mengerti makna Perjamuan Kudus. Masalahnya adakah dasar teologis yang mengatakan bahwa mengerti adalah syarat untuk menerima berkat dari Allah dalam Perjamuan Kudus?. (2). Soal persiapan/pendadaran/percakapan gerejawi menjelang Perjamuan Kudus. Ini berkaitan dengan kelayakan/kepantasan. Ini berkaitan dengan moralitas. Pertanyaannya pula: Apakah ada dasar teologis tentang kepantasan sebagai pra-syarat mengikuti Perjamuan Kudus.
6 Calvin, Edisi terkutip, LITURGI GKSBS, Hasil seminar dan lokakarya tim Liturgi GKSBS. Hasil tersebut diterima dalam sinode VII GKSBS di Blitang.p. 10
7 The Christian Sheperd: Some Aspects of Pastoral Care, New York, 1959.
8 Calvin, semasa pelayanannya di Jenewa, ia membuat banyak peraturan-peraturan moral yang harus ditegakkan di kota Jenewa. Ia bercita-cita agar kota Jenewa menjadi kota yang ‘teokrasi’ ala Yerusalem. Tapi akhirnya Calvin frustasi dengan peraturan-peraturannya sendiri. Bandingkan, Runtut Pijar, Toni Lane, BPK GM, 1996, p.147-152
9 Bandingkan dengan Heitink, G. : Pendampingan Pastoral Sebagai Profesi Pertolongan, dalam TEOLOGI DAN PRAKSIS PASTORAL, BPK dan Kanisius, 1992, p. 405
1 Tentang Pakaian Jabatan, tulisan ini banyak bergantung dan bersumber dari buku karangan DR.J.Lch. Abineno, Seputar Theologia Praktika I, BPK GM, 1968, hlm. 134-143.
2 Bagian ini adalah hasil rekomendasi Tim Liturgi GKSBS pada sidang Sinode GKSBS ke-7 di Belitang. Hasil rekomendasi Tim Liturgi disetujui oleh persidangan dan direstui untuk disosialisasikan. Sayang hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh MPS Periode Sidang VII. Segala referensi yang dipakai dapat dilihat dalam: Rekomendasi Liturgi GKSBS di masa Depan.
Napinature ni : Biro I Kerohanian GMB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar