2012/04/14

Perdamaian Dalam Kaca Mata Teologi

Persoalan Teologi

Hal ini membuat kita bertanya mengapa agama yang seharusnya membawa kedamaian justru sering memicu tragedi kemanusiaan yang berdarah-darah? Untuk menjawab hal ini, kita perlu merujuk kembali ke persoalan yang paling fundamental dalam agama, yaitu persoalan teologi.

Konsep teologi yang dibangun manusia cenderung bersifat apologetik-defensif ketimbang konstruktif-liberatif. Manusia menghabiskan banyak energi dalam perdebatan tentang Tuhan, seolah-olah ingin menyatakan merekalah penyelamat Tuhan. Persoalan kemanusiaan yang menjadi latar belakang agama disingkirkan, tidak menjadi tema dalam teologi.



Pada dataran ini, teolog dan mutakallimum berhasil "menyelamatkan" Tuhan. Namun, akibat rumusan teologi atau kalam tersebut, muncul berbagai konflik yang berlatar belakang agama. Padahal, berulang-ulang Tuhan menyatakan ada tidaknya orang yang beriman tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap-Nya.

Kuatnya paham teologi seperti ini berpengaruh pada "ketidakberdayaan" agama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Akhirnya, agama ditempatkan hanya sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan. Persoalan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam bukan termasuk wilayah agama.



Teologi yang dipahami dan diyakini berabad-abad ini bersifat apologetik-defensif untuk membela kelompok agama tertentu. Celakanya, pemikiran manusia ini disakralkan dan dianggap sebagai yang paling benar dan kebal (immune) terhadap kritik dan mengalami penyakralan (taqdis afkar al-diniy). Semua agama mengklaim ajarannya menghargai manusia dan menentang tindakan tidak manusiawi. Dalam konteks pluralisme agama, doktrin setiap agama menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan. Namun, dalam realitas empiris -doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja yang ideal tersebut belum dengan sendirinya dapat terlaksana seperti yang diidam-idamkan. Hal ini disebabkan banyak faktor kepentingan historis-empiris yang dominan baik yang disebut sebagai kepentingan politik, ekonomis, sosial, dan pertahanan keamanan- yang ikut mewarnai hubungan agama-agama.

Teologi Perdamaian

Dari uraian di atas, tersirat bahwa perlu diadakan reka ulang teologi. Teologi agama- agama perlu kembali ke khitah munculnya agama, yaitu sebagai pembebas manusia dari dehumanisasi. Untuk itu, teologi agama-agama hendaknya menjadi teologi kontemporer yang bisa menanggapi dan menjawab keadaan dan kebutuhan hidup manusia dewasa ini, khususnya yang menyangkut isu-isu perdamaian. Dengan sendirinya, teologi ini akan selalu memantau perkembangan keadaan dalam hidup sosial, ekonomi, dan politik agar teologi itu tidak terlepas dari konteks perkembangan sosial.

Teologi baru ini hadir sebagai refleksi kritis yang membedah keadaan sosial dengan maksud memperbaiki keadaan tak manusiawi, seperti kekerasan, peperangan, kemiskinan, keterbelakangan ekonomi dan politik, kebodohan, serta kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan lainnya. Teologi yang hendak dibangun ini berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Rumusannya tidak bersifat abstrak, tetapi sungguh-sungguh menyentuh persoalan-persoalan nyata yang dihadapi manusia. Tanpa kesadaran ini, sulit membangun teologi agama-agama yang dapat diterima oleh semua pihak.

Rumusannya mencoba menaturalisasi agama dengan membawa agama dengan nilai- nilai spiritual cinta kebenaran dan keadilan keluar dari dunia langit masuk ke dalam dunia manusia atau alam. Setidaknya ada empat dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, dimensi global humanistic, yaitu manusia harus memelihara rasa keterikatan dengan manusia lain sebagai sebuah komunitas global yang saling bergantung. Kedua, dimensi inner ecological, yaitu manusia harus menemukan kembali resonansi batiniahnya dengan alam. Ketiga, dimensi dark side, yaitu manusia perlu membongkar sifat-sifat destruktif yang memperlakukan orang lain sebagai musuh. Dimensi keempat, oppressed feminine, yaitu manusia perlu mengakui bahwa sumber utama kekerasan institusional dan distorsi radikal ialah terlalu besarnya dominasi laki-laki dalam kehidupan ini.

Disadur oleh : Biro I Kerohanian & Suara-Suara Perdamaian Kristus

Tidak ada komentar: