Persoalan Teologi
Hal ini membuat kita bertanya mengapa agama yang seharusnya membawa kedamaian justru sering memicu tragedi kemanusiaan yang berdarah-darah? Untuk menjawab hal ini, kita perlu merujuk kembali ke persoalan yang paling fundamental dalam agama, yaitu persoalan teologi.
Konsep teologi yang dibangun manusia cenderung bersifat apologetik-defensif ketimbang konstruktif-liberatif. Manusia menghabiskan banyak energi dalam perdebatan tentang Tuhan, seolah-olah ingin menyatakan merekalah penyelamat Tuhan. Persoalan kemanusiaan yang menjadi latar belakang agama disingkirkan, tidak menjadi tema dalam teologi.
Pada dataran ini, teolog dan mutakallimum berhasil "menyelamatkan" Tuhan. Namun, akibat rumusan teologi atau kalam tersebut, muncul berbagai konflik yang berlatar belakang agama. Padahal, berulang-ulang Tuhan menyatakan ada tidaknya orang yang beriman tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap-Nya.
Kuatnya paham teologi seperti ini berpengaruh pada "ketidakberdayaan" agama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Akhirnya, agama ditempatkan hanya sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan. Persoalan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam bukan termasuk wilayah agama.
Teologi yang dipahami dan diyakini berabad-abad ini bersifat apologetik-defensif untuk membela kelompok agama tertentu. Celakanya, pemikiran manusia ini disakralkan dan dianggap sebagai yang paling benar dan kebal (immune) terhadap kritik dan mengalami penyakralan (taqdis afkar al-diniy). Semua agama mengklaim ajarannya menghargai manusia dan menentang tindakan tidak manusiawi. Dalam konteks pluralisme agama, doktrin setiap agama menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan. Namun, dalam realitas empiris -doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja yang ideal tersebut belum dengan sendirinya dapat terlaksana seperti yang diidam-idamkan. Hal ini disebabkan banyak faktor kepentingan historis-empiris yang dominan baik yang disebut sebagai kepentingan politik, ekonomis, sosial, dan pertahanan keamanan- yang ikut mewarnai hubungan agama-agama.
Teologi Perdamaian
Dari uraian di atas, tersirat bahwa perlu diadakan reka ulang teologi. Teologi agama- agama perlu kembali ke khitah munculnya agama, yaitu sebagai pembebas manusia dari dehumanisasi. Untuk itu, teologi agama-agama hendaknya menjadi teologi kontemporer yang bisa menanggapi dan menjawab keadaan dan kebutuhan hidup manusia dewasa ini, khususnya yang menyangkut isu-isu perdamaian. Dengan sendirinya, teologi ini akan selalu memantau perkembangan keadaan dalam hidup sosial, ekonomi, dan politik agar teologi itu tidak terlepas dari konteks perkembangan sosial.
Hal ini membuat kita bertanya mengapa agama yang seharusnya membawa kedamaian justru sering memicu tragedi kemanusiaan yang berdarah-darah? Untuk menjawab hal ini, kita perlu merujuk kembali ke persoalan yang paling fundamental dalam agama, yaitu persoalan teologi.
Konsep teologi yang dibangun manusia cenderung bersifat apologetik-defensif ketimbang konstruktif-liberatif. Manusia menghabiskan banyak energi dalam perdebatan tentang Tuhan, seolah-olah ingin menyatakan merekalah penyelamat Tuhan. Persoalan kemanusiaan yang menjadi latar belakang agama disingkirkan, tidak menjadi tema dalam teologi.
Pada dataran ini, teolog dan mutakallimum berhasil "menyelamatkan" Tuhan. Namun, akibat rumusan teologi atau kalam tersebut, muncul berbagai konflik yang berlatar belakang agama. Padahal, berulang-ulang Tuhan menyatakan ada tidaknya orang yang beriman tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap-Nya.
Kuatnya paham teologi seperti ini berpengaruh pada "ketidakberdayaan" agama dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Akhirnya, agama ditempatkan hanya sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan. Persoalan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam bukan termasuk wilayah agama.
Teologi yang dipahami dan diyakini berabad-abad ini bersifat apologetik-defensif untuk membela kelompok agama tertentu. Celakanya, pemikiran manusia ini disakralkan dan dianggap sebagai yang paling benar dan kebal (immune) terhadap kritik dan mengalami penyakralan (taqdis afkar al-diniy). Semua agama mengklaim ajarannya menghargai manusia dan menentang tindakan tidak manusiawi. Dalam konteks pluralisme agama, doktrin setiap agama menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan. Namun, dalam realitas empiris -doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja yang ideal tersebut belum dengan sendirinya dapat terlaksana seperti yang diidam-idamkan. Hal ini disebabkan banyak faktor kepentingan historis-empiris yang dominan baik yang disebut sebagai kepentingan politik, ekonomis, sosial, dan pertahanan keamanan- yang ikut mewarnai hubungan agama-agama.
Teologi Perdamaian
Dari uraian di atas, tersirat bahwa perlu diadakan reka ulang teologi. Teologi agama- agama perlu kembali ke khitah munculnya agama, yaitu sebagai pembebas manusia dari dehumanisasi. Untuk itu, teologi agama-agama hendaknya menjadi teologi kontemporer yang bisa menanggapi dan menjawab keadaan dan kebutuhan hidup manusia dewasa ini, khususnya yang menyangkut isu-isu perdamaian. Dengan sendirinya, teologi ini akan selalu memantau perkembangan keadaan dalam hidup sosial, ekonomi, dan politik agar teologi itu tidak terlepas dari konteks perkembangan sosial.
Teologi baru ini hadir sebagai refleksi kritis yang
membedah keadaan sosial dengan maksud memperbaiki keadaan tak manusiawi,
seperti kekerasan, peperangan, kemiskinan, keterbelakangan ekonomi dan
politik, kebodohan, serta kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan
lainnya. Teologi yang hendak dibangun ini berpijak pada nilai-nilai
kemanusiaan universal. Rumusannya tidak bersifat abstrak, tetapi
sungguh-sungguh menyentuh persoalan-persoalan nyata yang dihadapi
manusia. Tanpa kesadaran ini, sulit membangun teologi agama-agama yang
dapat diterima oleh semua pihak.
Rumusannya mencoba
menaturalisasi agama dengan membawa agama dengan nilai- nilai spiritual
cinta kebenaran dan keadilan keluar dari dunia langit masuk ke dalam
dunia manusia atau alam. Setidaknya ada empat dimensi yang perlu
diperhatikan. Pertama, dimensi global humanistic, yaitu manusia harus
memelihara rasa keterikatan dengan manusia lain sebagai sebuah komunitas
global yang saling bergantung. Kedua, dimensi inner ecological, yaitu
manusia harus menemukan kembali resonansi batiniahnya dengan alam.
Ketiga, dimensi dark side, yaitu manusia perlu membongkar sifat-sifat
destruktif yang memperlakukan orang lain sebagai musuh. Dimensi keempat,
oppressed feminine, yaitu manusia perlu mengakui bahwa sumber utama
kekerasan institusional dan distorsi radikal ialah terlalu besarnya
dominasi laki-laki dalam kehidupan ini.
Disadur oleh : Biro I Kerohanian & Suara-Suara Perdamaian Kristus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar